12 Juli 2013

Learn to Fly; A short story


Learn to Fly
by M A Manaf

Raffi menatap datar layar komputer yang ada di depannya. Dadanya dag dig dug. Bahkan sejak tadi pagi ketika temannya mengatakan bahwa sore kemarin pengumuman SBMPTN usdah ada. Sekarang dia ada di warnet favoritnya mengecek nasibnya lewat jaringan computer. Tangannya yang dari tadi gemetaran memegang mouse langsung berhenti lemas melihat tulisan yang tertera di layar komputer itu. Tulisannya simple, tidak aneh-aneh. Hitam bold yang tertulis secara kapital dengan background warna putih. Seakan mengatakan kalau pernyataan ini absolut, dan ketika dia benar-benar menelan kata-kata itu, hampa tak berasa, dia bisa mendengar jantungnya berdegup tak karuan, dadanya panas dan kemudian boom! Hampa. Tak berasa apa-apa.
ANDA TIDAK LOLOS SBMPTN
Sembari membaca tulisan itu berkali-kali dengan rasa tak percaya, hatinya panas, terasa aneh, seperti ada yang memeras dan memanaskannya sekaligus. Itu hanyalah adrenalin, pikirnya. Namun dia tahu jauh di dalam hati kecilnya dia tahu, itu adalah rasa ketika impiannya pecah berkeping-keping seperti kaca yang hancur.
“Tak mungkin”, bisiknya tak percaya.
Dia menarik nafas dengan pelan, ayo tenangkan diri, atur nafas, ini pasti ada kesalahan, aku pasti lolos kok, ini pasti error. “UUhhh…huuuuhhh”, dia hanya mendengar suara nafasnya di telinganya, meski kenyataannya penghuni warnet disekelilingnya ramai berbincang dan bermain game.
Dia memutuskan untuk membuka facebook dan e-mail untuk mencari hiburan. Ayolah, kalau error pasti beberapa menit lagi akan ada perbaikan. Di facebook dia melihat status teman-temannya yang diterima di universitas pilihan mereka. Ada mengucap Alhamdulillah, ada yang berucap Puji Tuhan, Thank God, berbagai macam bentuk syukur yang ditujukan pada yang Maha Kuasa. Tapi aku sedang tidak bersyukur. Raffi melihat-lihat grup sekolahnya, mencari-cari teman-teman senasib. Jari-jarinya bergerak lincah menggenggam mouse computer dan suara klik klik klik terdengar di kepalanya. Seperti dengan membuka banyak tab sekaligus bisa menghilangkan rasa aneh yang ada di dadanya.
“Wah, ada satu teman senasib!”, gumamnya. Entah kenapa rasa aneh yang ada didadanya sedikit berkurang. Dia langsung melihat profil temannya. Tulisan galau dan sok filosofis terbaca olehnya.
Bukankah biasanya yang kuat yang mendapat cobaan? Toh Tuhan pasti akan memberikan penyelesaian kan?
Dia membaca tulisannya dan mengklik, like di status itu. Dalam hati dia tersenyum sinis, betapa manusia mencari sokongan semangat dari kata-kata yang mungkin dia sendiri belum terlalu paham apa artinya. Pasti dia Cuma sok tabah, mungkin sekarang dia lagi di depan computer nangis. Munafik! Mungkin dia tidak akan menulis seperti itu jika dia sudah bekerja keras seperti Raffi. Setidaknya jika dia tahu bagaimana aku mengikuti bimbingan belajar dan menelan soal-soal SBMPTN seperti snack, pikir Raffi sarkastik.
Raffi kemudian ingat dengan hipotesis hasil error milik akunnya. Cepat-cepat dia mengetik lagi alamatnya dengan berdoa semoga apa yang dia prediksikan betul. Kemudian dia memasukkan nomor miliknya pelan-pelan, sambil lirih berdoa. Tangannya gemetar lagi. 1-3-1-5-5-0-5-4-7-3, kemudian memasukkan tanggal-bulan-tahun yang sangat akrab dengan dia akhir-akhir ini gara-gara keseringan mengisis formulir untuk kuliah.
Dia menarik nafas lagi, tangan kirinya di dada dan dia menghadap keatas seperti meminta petunjuk. Tangan kanannya yang tiba-tiba gemetar memegang mouse mengklik kolom dengan tulisan Lihat Hasil.
Dia memejamkan mata dan dalam detik ini dia merasa bodoh sekali berharap kejaiban terjadi. Peluangnya mungkin satu banding sejuta, bodoh!. Namun rasa penasarannya menang. Dia menatap layar komputernya penuh harap, matanya yang tadi bercahaya dengan harapan mati seketika ketika dia melihat tulisan yang sama yang menimbulkan rasa seperti terbakar dan diperas sekaligus pada hatinya.
ANDA TIDAK LOLOS SBMPTN.
***
Dalam perjalanan pulang dia masih belum percaya dengan apa yang menimpa dia. Ini pasti kesalahan, Dia selalu mendapat PG tinggi yang seharusnya bisa menjebol pilihan pertamanya. Ini bahkan pilihan kedua dan ketiga tidak ada yang masuk. What the hell!, dengan umpatan itu dia menendang kerikil di depannya, seketika kerikil itu meloncat jauh, melambung dan menuju arus kendaraan di jalan yang Ia lalui. Seorang pengendara sepeda motor menatapnya garang dan berucap tanpa suara yang Raffi tangkap sebagai makian. Raffi hanya melihat pengendara sepeda motor itu dengan muka datar dan mata menatap tajam, seakan mengatakan peduli apa?
***
Sesampainya di rumah, Raffi langsung menuju dapur mencari air minum. Sebelum dia sampai di depan kulkas, ibunya datang. Wanita paruh baya tersebut tersenyum dengan ramah menatap Raffi, tangannya sibuk mengaduk sesuatu yang berbau sedap. Dia berharap dengan membuka pengumuman SBMPTN nya di warnet dia masih ada waktu untuk menyiapkan jawaban jika ada hal buruk terjadi, meski jaringan internet di rumahnya ada 24 jam.
“Gimana Nak, pengumumannya?”
Tak siap dengan pertanyaan Ibunya, Raffi membuka kulkas dan mengambil air minum sambil menjawab, “Nggak lolos Ma”, dibukanya tutup botol jus jeruk kemudian diminumnya dengan pelan tanpa menatap Ibunya.
“Maksud kamu?”, Ibunya masih belum paham.
“Ya, nggak lolos Ma. Aku nggak masuk kedokteran”, jawab Raffi setengah hati.
“Tapi kamu masuk dipilahan dua kan?”, Ibunya bertanya penuh harap. Sejenak dia berhenti mengaduk sup. Apinya dia kecilkan.
Raffi menutup botol jus jeruk dan memain-mainkannya, “Nggak Ma, nggak ada universitas yang nerima aku lewat SBMPTN ini”, Raffi berhenti sejenak, “Maaf Ma”. Shit! Kenapa mata gue berair,Shit!
Ibunya yang melihat Raffi menekuk kepala dengan sedih menuju Raffi yang sekarang duduk di kursi meja makan. Ibunya dengan pelan menaruh tangannya di pundak Raffi.
“Jangan sedih Raffi, kalau kamu nggak bisa masuk kedokteran, berarti memang sulit seleksi masuknya”. Mendengar kata-kata Ibunya yang penuh dengan rasa pemahaman entah kenapa membuat Raffi tambah melankolis. Dengan gaya sewajar mungkin dia mengucek matanya, gue gak boleh nangis, Damn!.
Dengan pelan, Raffi balik badan menghadap Ibunya, “Ma, entar gimana ngomong ke Ayah?”, dia bertanya dengan pelan. Dia melihat Ibunya menggigit bibir dan matanya menerawang.
“Nanti saja dibahas, toh Ayahmu belum pulang kerja kan?”, Ibunya berkata dengan meyakinkan, “Sudah, gak usah nangis, sekarang cari adik kamu Mia di rumah tetangga, mungkin di rumah temen kamu Naufal. Sekarang adiknya sama adik kamu geng. Ajak pulang, karena makan siang udah siap”, Ibunya tersenyum sambil kembali menuju kesibukannya.
“Ma, Raffi gak nangis. Ini cuma kena debu SBMPTN”, Raffi membantah sambil berjalan pergi ke luar lagi. Entah kenapa memikirkan percakapannya dengan Ibunya membuat dia tersenyum.
***
“Assalamu’alaikum…”, Raffi sekarang berdiri di depan pintu rumah sahabat SMP nya. Dari pintu dia bisa mendengar suara cempreng adiknya bermain dengan anak lain, dia juga mendengar suara televisi yang sepertinya menayangkan film anak-anak. Sambil mencuri dengar, dia mendengar suara langkah kaki bergegas menuju pintu.
“Waalaikum salam…”, Ucap seorang cowok sebaya Raffi, “Eh Raffi, gimana bro SBMPTN kamu?”, ucap Naufal sambil mengulurkan tangan, menjabat tangan Raffi.
Tak siap dengan serbuan pertanyaan, dia berusaha menjawab dengan gaya sebiasa mungkin.
“Gak masuk tuh. Gagal”, ucap dia sembari menyunggingkan bibir yang menyerupai senyuman, “Kamu gimana?”, Raffi balas bertanya sambil mengikuti Naufal duduk di ruang tamu.
“Yah, “, dia mendengar Naufal mendengus, “Sama nggak lolosnya”.
Mendengar ucapan Naufal  membuat Raffi terkejut sendiri. Ternyata dia tidak sendirian menghadapi beban kegagalan SBMPTN. Sahabatnya juga bernasib sama, dan mungkin ribuan pelajar sekarang juga menghadapi situasi yang sama. Memikirkan itu membuat rasa sakit di dadanya berkurang.
“Kok bisa?”, tanya Raffi.
“Nggak tahu juga, mungkin gara-gara ngambilnya terlalu tinggi kali ya, jadi nggak bisa masuk,” Raffi mendengar Naufal mendengus lagi dan menjelaskan, “Atau kalah doa sama anak-anak lain”, Naufal tersenyum sambil membenahi kacamatanya.
“Emang  kamu milih apa aja?”, Tanya Raffi yang sekarang menghadapi Naufal dengan serius.
“FTTM ITB, FTMD ITB, sama Teknik Geologi ITS. Dari ketiga itu nggak ada yang masuk, padahal aku yakin banget setidaknya bisa masuk ITS, tapi ya nggak tahu lagi”, Naufal mengangkat bahu kemudian melanjutkan, “sedih sih gagal SBMPTN, tapi hidup nggak berhenti gara-gara SBMPTN kan?”, Naufal menambahkan secara retoris sambil tersenyum. Wajahnya tenang, matanya cerah. Raffi tak habis pikir bagaimana Nufal bisa menghadapi kenyataan ini dengan sikap yang tenang.
“Tapi kalau gagal SBMPTN ini kan, gimaan ya, malu banget men, apa kata temenku yang lain? Bukannya Raffi siswa teladan ya? Kok nggak bisa masuk SBMPTN sih?”, ucap Raffi menirukan celotehan yang mungkin akan muncul ketika semua temannya tahu Raffi nggak lolos SBMPTN.
Naufal membenahi kacamatanya dan berkata, “Emang aku juga nggak digituin?”, sejenak dia menatap Raffi sambil menaikkan salah satu alisnya, kemudian dia melanjutkan, “Kayak gitu lumrah kok sebenarnya, semua orang pasti bertanya-tanya penasaran kenapa kita yang dianggap bisa malah nggak lolos. SBMPTN itu yang ikut jutaan, yang diterima berapa, cuma seratus ribu berapa kan? Selain pake otak, pake doa juga. Bener mungkin kita termasuk pintar, otak kita encer, tapi doa kita? Hubungan kita sama Tuhan? Siapa yang tahu? Temen-temen kita yang mungkin kita anggap biasa tapi bisa masuk SBMPTN kan juga piihannya beda sama kamu yang kedokteran atau aku yang FTTM ITB. Saiangannya ketat…! Lumrah lah kalau nggak lolos”, Naufal tersenyum diakhir ucapannya yang seperti khotbah menurut Raffi.
Raffi berpikir sebentar mendengar khotbah Naufal. Membenarkan poin-poin yang diucapkan sambil menganggukkan kepala tanda setuju meski dia masih belum percaya kok bisa dia tidak diterima,”Terus langkah kita selanjutnya gimana? Aku denger kan ITB nggak nerima mahasiswa diluar jalur undangan sama SBMPTN kan?”, Raffi bertanya kepada Naufal.
Mendengar pertanyaan itu, Naufal menjawab dengan tersenyum, “Emang sih. Kecewa mendengar kalau ITB nggak nerima mahasiswa diluar kedua jalur tersebut. Tapi ya mau gimana lagi”, ucap Naufal pasrah, “Mungkin aku akan ngambil di ITS yang masih ada hubungannya dengan pertambangan, belajar lebih giat agar menonjol, terus bisa dapat beasiswa S2 diluar negeri. Bagi kita yang kata kamu pinter ini”, Naufal menekankan kata pinter seperti mengejek “Kita malah ada banyak kesempatan untuk menonjol dan mendapatkan beasiswa. Kalau aku di ITB misalnya, saingannya banyak banget. Pasti pinter-pinter. Kesempatan agar menonjol juga berkurang kan?”, Lagi-lagi Naufal mengeluarkan argumen yang masuk akal.
“Bagi kamu yang pengen masuk kedokteran UI lewat SBMPTN, bener kamu emang nggak lolos. Tapi kamu ikus Simak UI dan Utul UGM kan? Doa terus agar bisa diterima. Terus masih ada juga alternatif universitas lain yang punya faklutas kedokteran yang bagus yang mungkin masih bisa nerima kamu kayak UNAIR sama UB. Apalagi uang kayaknya bukan masalah bagi keluarga kamu. Percaya deh Raf, dari semua temenku, kamu lah orang yang paling beruntung meski kamu nggak diterima lewat jalur SBMPTN”, ucapan Naufal kali ini menohok Raffi.
Sejak tadi setelah pengumuman dia selalu merasa kacau, kecewa. Namun setelah mendengar perkataan Naufal tadi, dia masih punya banyak kesempatan untuk mengambil kedokteran dibandingkan dengan anak lain, dan dia juga bisa lebih menonjol nantinya. Asyik, bisa berkesempatan menjadi mahasiswa teladan, pikir Raffi optimis.
“Terus ini ada juga”, Naufal melanjutkan lagi, “Kamu atau kita ini lebih beruntung dibandingkan temen-temen yang tertarik dengan jurusan yang cuma ada di universitas tertentu saja, nggak ada yang lain. Contohnya adalah SITH-Rekayasa ITB. Jurusan bioengineering itu cuma ada di ITB doang. Nggak ada di universitas lain. Temenku ada yang kayak gitu. Dia suka banget dengan bioengineering dan dia juga udah optimis bisa diterima soalnya nilainya dia kalau TO SBMPTN itu pasti tinggi, bisa masuk jurusan itu. Ternyata, dia nggak masuk. Bandingin dengan kamu, kayaknya dia sudah terobsesi dengan SITH-Rekayasa ITB. Nah, sekarang dia bingung sendiri gimana nanti kuliahnya. Percaya deh, kamu lebih beruntung”, Naufal menyimpulkan dengan meyakinkan.
Raffi kembali tertohok, “Thanks ya udah bikin aku lebih baik”, Raffi berusaha tersenyum terus dia ingat tujuan dia kesini, “Aku mau jemput Mia dulu, tadi Mama udah nyuruh aku buat jemput dia”, Raffi berkata sambil berdiri.
“Oh ya, aku juga lupa”, Naufal tersenyum, “Eh, besok kalau kamu mau riset universitas bareng aku kesini aja atau aku ke rumah kamu, gimana? Toh aku juga udah lama banget nggak ke rumah kamu”, Naufal berkata sambil mengantarkan Raffi ke ruang keluarga untuk menjempt adiknya.
Sambil berjalan pulang, Raffi berfikir mengenai perkataan Naufal tadi. Betapa egois nya dia berfikir bahwa dia adalah orang yang paling kecewa dan paling tidak beruntung, padahal sekarang teman-temannya pasti banyak juga yang mengalami hal yang sama. Raffi mengingat bahwa dari kecil dia belum pernah merasakan rasanya tidak bisa mendapatkan sekolah favoritnya. Dari SD hingga SMA dia selalu diterima di sekolah idamannya, mungkin sekarang saatnya roda harus berputar. Dia harus bisa merasakan bagaimana deseperate nya anak yang belum mendapat sekolah agar dia bisa lebih rendah hati dan memiliki mental yang kuat. Toh, dia masih punya Simak UI dan Utul UGM. Raffi tiba-tiba tersenyum, dia masih punya harapan untuk masuk fakultas kedokteran. Pengalaman ini akan membuatnya untuk belajar terbang. Bukankah kalau kita ingin terbang kita harus menjejak tanah dahulu, susah dahulu, jatuh, baru kita bisa membentangkan sayap dan terbang diangkasa. Tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang familiar tapi dia tidak bisa mengungat apa itu, kayaknya ada hubungannya dengan lagu.
“Mia, hati-hati!”, Raffi menggandeng tangan adiknya pulang.
***
Raffi duduk dengan deg-degan waktu makan malam. Dari tadi dia berusaha agar tidak menatap wajah Ayahnya yang sedari tadi tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dengan pelan dia makan sambil berfikir bagaimana mengatakan kegagalan SBMPTN kepada Ayahnya.  Sebelum dia mengatakan sesuatu, Ayahnya sudah bertanya,
“Raffi, gimana SBMPTN kamu Nak?”, Ayahnya melihatnya dengan tajam dari kacamatanya. Sekilas seperti ada kilatan cahaya di kacamata Ayahnya, membuat wajahnya yang impassive tambah membuat Raffi takut.
“Hmm, itu Yah, Raffi nggak lulus SBMPTN”, Raffi hanya menatap makanannya yang tinggal setengah sambil berdoa. Suasana hening, Mia yang biasanya ramai waktu makan dengan denting piring tak biasanya tenang.
“Raffi jangan dimarahi ya Pa, kasihan dia”, Mamanya ikut nimbrung, berusaha agar Raffi tidak kena amuk, “Dia sudah berusaha kok”, Mamanya menambahkan.
“Mungkin tak cukup berusaha”, Ayahnya berkata tajam, “Kamu tahu kan Ayah berharap kalau kamu itu bisa jadi dokter kayak Ayah. Kamu juga sudah setuju kalau kamu ambil kedokteran. Ayah punya harapan besar agar kamu yang katanya pintar ini bisa mengambil kedokteran. Ini sudah tradisi di keluarga kita, Kakek kamu juga dokter, Ayah juga dokter”, Ayahnya berhenti mengambil nafas secara berat, “Tetapi sepertinya kamu mengecewakan Ayah lagi”,
Raffi hanya diam. Matanya tak lepas dari makanannya yang tinggal setengah tak tersentuh. Hatinya yang hampir sembuh sakit lagi mendengar perkataan Ayahnya.
“Ayah sudah memaafkan kamu yang hanya bisa meraih peringkat tiga nilai tertinggi UNAS kemarin, kamu harusnya bisa membuat Ayah bangga di SBMPTN ini. Kamu kan sudah Ayah daftarkan les untuk SBMPTN, kamu nggak serius ya?”, sejenak Ayah Raffi berhenti, “Jawab Raffi”, Ayahnya sekarang memandang Raffi meminta penjelasan.
Entah kenapa kata-kata ayahnya yang diutarakan secara pelan-pelan malah membuat Raffi semakin takut.
“Raffi serius kok Yah”, Sejenak Raffi memandang ibunya meminta dukungan kemudian kembali memandang Ayahnya, “Setiap  try out Raffi lolos, tapi nggak tahu kenapa waktu SBMPTN kemarin nggak lolos. Banyak juga kok teman Raffi yang nggak lolos ujian masuk tahun ini”, Raffi berhenti sebentar terus melanjutkan dengan pelan sambil menunduk lagi, “Mungkin sudah takdirnya”.
“Ayah nggak mau tahu alasannya. Kamu harus bisa masuk kedokteran, atau kamu ingin masuk jurusan lain?”
“Nggak Yah, Raffi tetap ingin masuk fakultas kedokteran”, Raffi kembali memandang Ayahnya. Raffi sudah jatuh cinta dengan kedokteran. Jangan sampai Ayahnya berfikir bahwa dia sudah pindah minat.
“Oh begitu”, Ayahnya hanya menanggapi datar. Kemudian Ayah Raffi berpaling untuk berbicara dengan istrinya dan anaknya yang tidak didengar oleh Raffi. Dalam otak Raffi hanya terngiang perkataan Ayahnya tadi.
Raffi memutuskan untuk melanjutkan makanannya dengan cepat dan segera kembali ke kamar. Ketika dia melangkah pergi, dia mendengar Ayah dan Ibunya berdiskusi mengenai langkah yang harus diambil untuk membantu Raffi melanjutkan kuliah. Sejenak dia berusaha menguping dibalik tembok. Dia mendengar perkataan mengenai mandiri, uang perkuliahan, dan kesediaan Ayahnya untuk membiayai perkuliahan Raffi di fakultas kedokteran. Mendengar ini dia tersenyum dan bersyukur. Setidaknya dia masih bisa bersekolah meski lewat jalur mandiri, meski mahal tapi keluarganya masih mampu. Lagi-lagi, rasa sakit di dadanya berkurang. Kemudian dia pergi menuju kamar dengan perasaan lebih lega. Ternyata kemarahan Ayahnya tidak semengerikan yang dia bayangkan, meski tadi cukup dingin.
***
Pagi harinya dia bangun telat, ketika dia melihat jam kamarnya, dia melihat sekarang sudah pukul 8 pagi. Sambil duduk di kasur dan mengucek mata, pikirannya langsung berputar ke saat sahur bersama keluarganya diwarnai dengan pernyataan ayahnya yang mendukung Raffi bila dia mengambil jalur mandiri kedokteran, ayahnya juga berkata bahwa dia akan mendoakan Simak UI dan Utul UGM Raffi bisa sukses. Mengingat itu dia tersenyum dengan lega. Dia bangun dan berkaca, dia baru sadar kalau dia masih memakai baju koko yang dia pakai sholat shubuh tadi.
Dia mengecek HP nya, ada sms dari Naufal yang mengajak browsing bareng mengenai jalur-jalur mandiri universitas di rumahnya pukul 10 nanti. Raffi sekarang menyalakan music player di HP nya, dia hubungkan dengan speaker dan dia mulia beres-beres kamar. Ketika dia menuju kamar mandi kamarnya, dia mendengar lagu yang agak asing di HP nya. Sejenak dia berhenti. Oh, lagu baru yang dia dapat dua hari sebelum tanggal 8 kemarin dari radio.
Sambil mandi, dia ikut bernyanyi mengikuti lagu oleh Shannon Noll,
When you feel the dream is over,
Feel the world is on your shoulders,
and you've lost the strength to carry on.
Even though the walls may crumble,
And you find you always stumble through,
Remember never to surrender to the dark.
Cos if you turn another page,
You will see that's not the way, The story has to end.

If you need to find a way back,
Feel you're on the wrong track,
Give it time, Learn to fly,
Tomorrow is a new day,
You will find you're own way,
You'll be stronger with each day that you cry,
Then you'll learn to fly.

Sungguh aneh, batin Raffi. Kenapa tepat sebelum dia mengetahui pengumuman SBMPTN dia sudah memiliki obat untuk mengatasi galau hatinya itu. Learn to Fly, seperti yang dikatakan Naufal kemarin. Dia harus belajar untuk menerima kenyataan dengan hati lapang. Yang lalu adalah pelajaran yang berharga. Dengan ditolaknya dia lewat jalur SBMPTN ini akan mengajarkan Raffi untuk bersyukur dengan apa yang dia miliki dan berjuang dengan keras untuk bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia mengingat perkataan ayahnya saat sahur tadi, dan dia tersenyum.

Looking at your situation,
There's so much that you can do,
Now's the time to make your stand.
This is just an observation,
In the end it's up to you,
The future's in your hands.*

*Learn to Fly, song by Shannon Noll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,