13 Oktober 2009

Diantara Bahagia dan Duka


Diantara Bahagia dan Duka



Malam semakin senyap, mengantarkanku pada keletihan yang luar biasa. Suasana hening yang diselingi suara binatang malam kian menebar kesunyian di ruang baca ini. Ufh, capek. Malam ini aku harus menyelesaikan resume bukunya Bruce Rich yang berjudul Menggadaikan Bumi. Resume ini akan menjadi bahan diskusi pada pertemuan proyek penelitianku esok lusa. Aku ingin terlelap sejenak. Kupejamkan mataku. Gelap. Setelah lima menit terpejam, tiba-tiba aku tersentak dan terbangun. Entah karena apa, aku tidak tahu.
Aku beranjak ke dapur untuk membuat kopi. Aku mengambil beberapa makanan kecil yang ada di meja makan. Beberapa saat kemudian, aku sudah kembali ke ruang baca dan menaruh bawaanku di meja baca. Ssrutt …. Kuminum kopiku. Hmm, enak. Sambil menikmati makanan kecilku, perlahan kuedarkan pandangan untuk menatap sekeliling. Rapi. Kuakui, istriku memang hebat, ia bisa menyulap ruangan ini menjadi ruang baca yang menyenangkan. Sangat inspiratif. Perfect.

Tembok warna biru laut, lampu baca bernuansa etnik dan rak buku yang tersusun rapi. Buku agama, filsafat, sastra, hukum, psikologi, sosial, ekonomi, majalah Ummi dan tabloid resep masakan, semuanya berjajar rapi. Aku jadi tersenyum geli ketika mengingat jawaban istriku, sewaktu kutanya kenapa ia sangat getol mendandani ruangan ini. Waktu itu dengan gaya layaknya seorang orator, istriku berseru dengan lantang,
“Saudara – saudara sebangsa dan setanah air, rakyat harus pintar dan gemar membaca. Terciptanya reading society adalah tanggung jawab kita bersama.. Maka dari itu, saya harus memulainya dari rumah mungil ini.” Berapi-api. Spontan aku langsung mengepalkan tangan kanan ke atas dan berteriak,
“Hidup rakyat! Merdeka!” Istriku langsung berlari ke arahku dan mendaratkan cubitan di lengan kiriku. Lalu tawa kami pun berderai. Lucu.
Aku melirik ke arah jam dinding. Pukul 22.30. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Lega dan nyaman. Energiku pulih kembali. Bismillah, aku kembali serius di depan komputer.
Malam merangkak merayapi sepi. Udara semakin dingin dan hujan mulai turun membasahi bumi. Kota Malang semakin membuat tubuh menggigil.

* * *

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Pukul 06.00. Semalam seusai menulis, aku sholat malam dan sambil menunggu waktu shubuh, aku tadarus. Tanggung bila hendak tidur, jadi aku tidur setelah sholat shubuh sekalian.
Hari ini aku merasa sangat malas. Untung saja sekarang tidak ada jadwal survei ke lokasi penelitianku. Aku rindu dengan istriku. Beberapa hari ini ia harus menunggui adikku yang sedang dirawat di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya. Adikku mengalami gangguan pada ginjalnya. Aku juga rindu adikku. Hhh…
Aku membuka tirai jendela dengan resah. Aku melangkah menuju beranda rumah. Kuhirup udara bercampur embun pagi. Segar. Kuncup bunga mawar yang menghiasi halaman tampak begitu indah. Kicau burung yang beterbangan di atas dahan, sedikitnya mampu menentramkan batinku.
Perlahan matahari mulai menyibak kabut pagi. Dan ketika aku mendongak ke langit, kutemukan pelangi disana. Subhanalloh … Indah dan mengagumkan. Tiba-tiba aku ingat pada orang tuaku. Mereka berdua sudah kembali ke sisi-Nya. Bapak meninggal karena sakit jantung. Saat itu aku masih duduk di kelas 1 SMP. Sedangkan Ibu, beliau meninggal saat melahirkan adikku tepat 2 tahun setelah kepergian Bapak. Sepeninggal mereka berdua kami diasuh oleh keluarga terdekat kami, yaitu Pakde dan Budhe.
Tentang pelangi, aku teringat dengan perkataan Ibu. Waktu itu aku bertanya tentang arti dari namaku. Dengan lembut ibu membelai rambutku dan berkata,
“Le, namamu Tejo Sukmono. Itu nama yang bagus lo, Le. Dalam bahasa Jawa, Tejo itu berarti pelangi, Sukmo berarti sukma atau jiwa dan -no adalah akhiran untuk nama orang laki-laki. Jadi arti dari namamu adalah lelaki yang berjiwa pelangi. Kamu tahu maksudnya, Le?” Aku menggeleng. Ibu tersenyum dan mencium dahiku, kemudian melanjutkan, “Le, kehidupan ini tidak selamanya bahagia. Sesekali ujian yang pahit akan hadir tanpa disangka-sangka. Dan sesuai dengan namamu, kami berharap semoga kelak kau akan selalu bisa menghadapi setiap ujian yang datang dengan sabar dan suka cita. Le, bukankah setelah hujan badai yang deras, pelangi akan menampakkan diri untuk memberikan kebahagiaan pada kita. Kamu harus selalu optimis menghadapi hidup ini, Le. Kamu sudah mengerti, Le?” Aku mengangguk dalam pelukannya. Oh …. Ibu ….
Lamunanku buyar ketika mendengar panggilan Budhe dari rumah sebelah.
“Le, cepat kemari! Ayo sarapan dulu!” ajak Budhe.
“Inggih, Budhe. Sekedap,” jawabku dengan halus. Selama kepergian istriku, Budhe-lah yang memasak untukku. Aku bergegas melangkah, karena perutku memang sudah meronta – ronta minta diisi. Lapar.


* * *

Pagi ini, menu sarapannya enak sekali. Ikan mujair bumbu acar. Lauk yang sangat kusuka. Kenyang. Alhamdulillah….
“ ….. …... …...” reminder di ponselku berbunyi. Dengan cepat kubaca. Ups. Aku lupa. Kupukul dahiku. Akhir – akhir ini jadwal penelitianku yang padat, sering membuatku lupa akan banyak hal. Nah, tugasku sekarang adalah membeli boneka gajah berwarna pink yang diinginkan adikku. Hari ini aku berencana untuk menjenguknya dan membawa boneka itu sebagai hadiah.
Pukul 08.30. Aku berpamitan pada Budhe untuk pergi ke toko boneka dan nanti langsung ke Surabaya. Aku mencium tangan Budhe dan mengucap salam.
“Hati-hati ya, Le” pesan Budhe. Dan akupun berlalu.


* * *

Di dalam angkutan kota, aku duduk di kursi paling belakang. Aku ingin menikmati perjalanan ini. Sudah lama aku tidak naik angkutan kota. Canggung.
Ada delapan penumpang di dalam angkutan ini. Sebagian besar dari mereka adalah pegawai pertokoan yang masuk kerja pukul 09.00. Aku jadi ingat keseharianku. Jam-jam segini biasanya aku berangkat ke kantor. Dan sebelum berangkat, istriku mempunyai kebiasaan yang unik dan aneh. Dia selalu mencium kedua sisi tangan kananku. Ketika ia mencium punggung tanganku, ia berkata,
“Dari punggung tangan ini, aku mencari ridho Allah untuk kebaikan akhiratku.” Kemudian ia mencium telapak tanganku dan berkata,
“Dan dari telapak tangan ini, aku mencari ridho Allah untuk kebaikan duniaku” ia lalu melepas tanganku dengan takzim.
Ika Dewa Nitasari itulah nama istriku. Ia lulusan Fakultas Psikologi UNAIR Surabaya. Aku meng-khitbah-nya dengan bantuan guru ngaji-ku. Ia menerima lamaranku, setelah sebelumnya aku ditolak tiga akhwat. Keluarga mereka menolakku setelah mengetahui kondisi adikku, Hesti.
Ya, Hesti adikku mengalami down syndrome semenjak lahir. Ketika lahir, ia tidak menangis sama sekali, bahkan sewaktu dipukul sekalipun. Ia hanya mengeluarkan suara ekh ekh ekh saja. Hesti tidak bisa menangis karena langit-langit mulutnya sempit dan lubang air matanya tersumbat.
Ketika melihat keadaan Hesti, aku sangat terpukul. Apa kata orang nanti. Aku punya adik yang cacat. Melihat hal ini, Pakde dan Budhe tak henti-hentinya memberi nasehat kepadaku. Mereka meyakinkan padaku bahwa semua ini adalah ujian dan amanah dari Allah yang harus selalu dijaga. Dan aku harus yakin bahwa tidak ada ujian yang melebihi kemampuan seorang hamba.
Akupun akhirnya sadar. Dan tiga tahun kemudian, aku merantau ke Jakarta untuk menyelesaikan studi S1 dan S2 - ku di FISIP UI. Sejak saat itu, adikku secara total diasuh oleh Pakde dan Budhe.
Ups, aku sudah sampai ke tujuanku. “Kiri, Pak” seruku pada Pak Sopir.


* * *
Lantai 2 Matahari Department Store ini tidak seramai hari Sabtu dan Minggu. Meski begitu, aku tetap harus mengingat-ingat toko tempat boneka yang diinginkan adikku. Aku terus melangkah memasuki mal. Aku celingak-celinguk mencari. Hhh, susah juga ternyata. Ini kali pertama aku ke mal tanpa ditemani istri.
Setelah berkeliling-keliling, akhirnya aku menemukan toko itu. Aku memasuki ruang dinding berkaca dan segera menuju ke etalase boneka. Ketika aku memilih boneka, mataku tertuju pada anak-anak kecil yang juga sedang memilih boneka. Rasa sedih perlahan menyusupi perasaanku. Pedih dan pilu.
Dua tahun sudah pernikahan kami berjalan. Aku bahagia dengan pernikahan ini. Bahkan aku sangat merasa bahagia sekali. Tapi masih ada yang kurang diantara kami. Yaitu, hadirnya anak-anak yang menjadi penyejuk hati dan bisa membuat kami tertawa.
Terkadang aku menyesali keadaan ini. Ujian ini begitu berat kurasakan. Akan tetapi rasa ini cepat-cepat kutepis sejauh mungkin. Pantaskah aku menyesalinya? Bukankah aku mempunyai seorang istri yang baik? Ya, istriku sangat baik dan ia begitu sempurna di mata hatiku. Ia menerima aku apa adanya. Ia menjelma bagai seorang ibu di saat keyatimanku. Ia adalah pemberi tempat berteduh dan tempat yang aman dari segala kekalutan dan kekecewaanku. Ia selalu berupaya memperkuat ikatan keluarga diantara kami. Ia selalu mengirim hatinya untuk menjaga aku dari murka Allah, tatkala aku tidak berada di sisinya. Hal ini ia lakukan dengan selalu menyelipkan kertas kecil yang berisi taujih singkat dalam buku agenda kerjaku. Ia melakukannya setiap hari. Tanpa rasa bosan sedikitpun. Sebagai contoh, pada pekan yang lalu, saat di kantorku ada indikasi penyelewengan dana penelitian, maka istriku memberikan kertas taujih yang isinya,

“Rasulullah telah bersabda, “Akan datang suatu masa ketika orang tidak peduli lagi dalam mengambil (memperoleh) harta apakah halal atau haram.” (Jaami’ul Ushul)
Nb : Dan tangan suamiku adalah tangan yang tidak akan pernah memegang sesuatu yang diharamkan Allah. Tangan itu adalah tangan salah satu penduduk Surga yang bahagia di akhirat nanti. Amiin …
Kupejamkan mata dan ber-istighfar. Dalam hati, aku bergumam. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
“Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapa pelayan dengan ramah. Aku tersadar dan kemudian langsung membayar ke kasir. Waktu menunjukkan pukul 10.15, aku harus segera pergi.


* * *
Sementara itu nan jauh disana, pada saat yang bersamaan, Ika sedang terburu-buru menuju apotek. Ia menebus obat untuk adik iparnya, Hesti. Ketika memasuki apotek itu, bau obat langsung menyergap hidungnya. Ia menyerahkan kertas resep, membayar dan kemudian menunggu racikan obatnya.
Ruang tunggu apotek saat itu hampir penuh. Antriannya panjang sekali. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk yang nyaman. Dapat. Ia duduk disamping seorang ibu yang sedang menggendong anak perempuan. Ia meminta ijin untuk duduk di sebelah sang ibu. Ia duduk dan matanya beradu dengan mata anak kecil itu. Sepasang bola mata bulat yang menggemaskan, yang selalu membuatnya sedih. Ia terpaku. Wajahnya tiba-tiba muram.
Seketika pikirannya melayang pada suami tercinta. Ia bersyukur, dengan segala kelebihan dan kekurangannya semua ciri laki -laki yang sholeh melekat pada suaminya. Dalam pernikahannya, ia bahagia karena telah menemukan hidup yang sesungguhnya dan cinta sejati. Ia benar – benar merasa hidup. Sang suami selalu mendukung semua hal yang menghidupkan potensinya. Prinsip sang suami, cinta itu datang untuk menyatukan dua hati yang berbeda dan tidak untuk memaksakan satu keinginan atas keinginan yang lain. Itulah yang membuat dia merasa teristimewa. Karena cinta hanya untuk cinta. Cukup. Tak perlu yang lain.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa bersalah. Ketidakhadiran sang buah hati dalam jalinan cinta mereka, telah memberikan kesedihan yang mendalam. Ia memang terlihat selalu ceria, tapi jangan dikira bahwa semua keceriaan itu tanpa ada goresan luka.
Luka itu akan selalu menyiksa, dikala ia mendapati sang suami yang menangis dalam sholat malamnya. Apalagi, jika membaca Qur’an surat Asy-Syuura ayat 49 dan 50, yang artinya :

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui Lagi Maha Kuasa.”

Maka, sang suami akan sangat sulit menghentikan tangisannya. Dan ia pun mendapati hatinya bagai teriris-iris oleh ribuan sembilu.
“Ya Allah, bilakah bahagia itu hadir?” bisiknya pelan hampir tak terdengar.
“Ya Allah, semua yang terjadi di bumi ini adalah atas kuasa-Mu. Semuanya, tanpa terkecuali. Bahkan setetes embun di daun-pun adalah kehendak-Mu. Apalagi, … kami.”


* * *

Kantor masih sepi. Aku datang terlalu pagi karena aku berangkat langsung dari Surabaya. Jika berangkat agak siang, aku takut terjebak macet. Hhh…, aku mendesah. Aku teringat dengan kondisi adikku. Seminggu sudah ia berada dalam perawatan medis. Tapi selama itu pula tidak ada kemajuan dalam proses pengobatannya. Para dokter sudah berusaha keras, akan tetapi hasilnya belum terlihat. Kondisi ginjalnya semakin memburuk. Kami semua sudah pasrah. Kami serahkan segalanya pada kehendak Allah.
Hari ini aku akan melakukan cek ulang pada tulisanku yang akan dijadikan sebagai bahan diskusi nanti. Kunyalakan komputer dan kucari file-ku. Bismillah ….
Dunia penelitian. Itulah dunia yang kugeluti saat ini. Dalam geografi masyarakat kita ada sebuah “komunitas kenyal” yang selalu mengambil peran signifikan, yaitu kaum akademisi. Mereka mengambil peran sebagai penyebar opini di kalangan elite struktural maupun masyarakat secara kultural. Sebagian besar masyarakat kita menilai bahwa kaum ini hanya pintar bicara tapi jauh dari tindakan nyata alias NATO (No Action Talk Only). Miris.
Aku tergerak untuk membuang mitos-mitos yang disandang oleh kaumku. Aku ingin mengkomunikasikan informasi yang khas, yaitu informasi yang selalu visioner melihat ke depan dan menyempal dari arus umum yang cenderung menyesatkan masyarakat. Dan inilah ciri yang sekaligus merupakan tanggung jawab kaum akademisi.
Penelitian ini diadakan oleh laboratorium FISIP UI bekerja sama dengan JAJAKI (Jaringan Kebijakan Publik Indonesia) dan didanai oleh The Asian Fondation. Penelitian ini menfokuskan diri untuk mengupas Rural Development Policy (Kebijakan Pembangunan Pedesaan) di Indonesia. Hipotesis penelitian menyebutkan bahwa selama ini kebijakan pembangunan pedesaan tidak fokus dan terlalu banyak yang menjadikannya sebagai proyek untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, maka semakin menambah jumlah elite-elite kecil yang sangat korup dan berkuasa.
Aku membuka file-ku. KP2DKRG (Kebijakan Pembangunan Pedesaan Dalam Ketidakamanan Rezim Global). Aku mulai mengurai semua ide dan gagasan-gagasanku. Tulisan pendek dengan tema di atas, sengaja kubuat untuk memikirkan kembali makna pembangunan pedesaan dan strategi pembangunan yang mendasarinya seraya menengok kegagalan-kegagalan (failures) yang pernah terjadi selama ini agar diperoleh pelajaran yang berharga.
Pembangunan pedesaan (rural development) sebagai sebuah konsep dan seperangkat metoda alternatif untuk mengorganisasikan produksi kesejahteraan dan pola pertukaran dalam kegiatan-kegiatan yang berlangsung di daerah pedesaan sebenarnya memiliki riwayat yang cukup panjang. Ia bukanlah suatu gejala yang sama sekali baru. Namun satu hal daripadanya cukup jelas bahwa pembangunan pedesaan itu bukanlah monopoli dari sistem politik manapun. Sistem politik manapun dari dulu telah terlibat dalam pembangunan pedesaan pada masyarakatnya masing-masing. Sungguhpun demikian, pembangunan pedesaan yang akhir-akhir ini sedang naik pamornya terutama disebabkan oleh gejala gagalnya strategi-strategi pembangunan yang oleh para ahli sering disebut sebagai ”bersifat teknokratis dan terlampau berorientasi pada pertumbuhan”. Strategi ini masih banyak dipraktekkan oleh negara-negara yang sedang berkembang, termasuk negara kita, Indonesia.
Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla membuat sebagian besar masyarakat menaruh harapan akan keberhasilan pemerintah dalam mengatasi krisis yang dialami bangsa ini. apalagi ketika mereka berhasil membentuk jajaran kabinet yang terdiri dari para tokoh yang bereputasi di masyarakat, keyakinan publik semakin menebal. Namun apa kenyataannya? Tidaklah menggembirakan. Terbukti sampai saat ini, kabinet masih majal dan kebijakan pembangunan pedesaan masih bersifat inkrimental. Dampak dari strategi pembangunan pedesaan pun tak bisa dielakkan. Jurang perbedaan kaya-miskin bukannya menciut, tetapi justru kian melebar, sehingga dalam masyarakat telah tercipta “pulau-pulau kemiskinan” diantara “delta-delta kemewahan” kaum elite tertentu. …………….. Kursor-ku terus bergerak.
“ …….. …… ” gerakan kursor-ku terhenti saat ponselku berdering. Dari istriku, segera ku angkat.
“Assalamu’alaikum.” Ia tidak menjawab salamku, tapi kudengar di sana dia menangis.
“Mas, Hesti masuk UGD. Ia kritis. Cepatlah kemari.” Klik. Telepon terputus.
Saat itu, rasanya beribu-ribu duri tajam telah merajam-rajam tubuhku. Sedih semakin menyanyat hatiku. Akankah pertemuan kemarin menjadi senda gurau kami untuk terakhir kalinya???
Segera aku meminta ijin pada atasanku. Kuserahkan tulisanku padanya.
Aku ke rumah sakit lagi. Aku pasrah dan hanya berdoa tiada henti di sepanjang perjalanan menuju Surabaya.


* * *

Setengah berlari kumasuki lorong-lorong rumah sakit. Di luar ruangan UGD kulihat ada Pakde, Budhe dan istriku. Mereka bertiga duduk dalam diam. Kuucapkan salam dan kucium tangan Pakde dan Budhe. Aku duduk di sebelah istriku dan menggenggam tangannya erat-erat.
Pukul 11.15. Dokter Budi yang memeriksa adikku keluar dari ruang UGD dan kami langsung mendekatinya.
“Bagaimana keadaan Hesti, Dok?” aku bertanya. Ia tidak menjawab dan berkata, “Hesti ingin menemui anda semua. Silahkan masuk ke dalam.”
Kami bergegas masuk ke dalam ruangan. Tampak olehku badan Hesti yang penuh dengan alat kedokteran. Ia memberi isyarat pada kami. Aku segera menghampiri dan kugenggam erat jemarinya.
Kulihat Budhe menangis di bahu Pakde. Aku dibantu istriku membisikkan kalimat Laa ilaaha illallah di telinga Hesti. Bibirnya bergerak-gerak perlahan. Aku terus berbisik hingga istriku menyentuh pundakku dan menggelengkan kepalanya.
Kupeluk adikku sangat erat. Kulihat dan kucium wajahnya, tampak sesungging senyuman dan kedamaian disana. Tanpa kesedihan. Tanpa kelelahan.
Adzan Dzuhur membawaku kembali ke alam nyata. Istriku membimbingku untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Aku berdzikir sangat lama. Memohon ampunan pada Sang Maha Kuasa. Kudoakan kedua orang tuaku dan adikku. Semoga mereka bahagia di sana. Amiin…


* * *

Tujuh hari kemudian. Aku melangkah lesu. Kepergian Hesti untuk selamanya telah membuatku benar-benar sedih. Aku berusaha menutup-nutupi perasaan ini, baik di depan istriku maupun di kantor. Aku berusaha dan terus mencobanya. Tapi tak bisa. Sangat sulit.
Alhamdulillah, istriku mau memahami semua kesedihanku ini. Ia tetap setia menghiburku. Seperti hari ini, aku mendapati secarik kertas kecil yang terselip di buku agenda kerjaku. Di situ tertulis dengan rapi:

“Semakin besar riak kehidupan, itu tanda bahwa kita disayang Allah.
Allah menyisipkan ujian dan duka, tak lain adalah untuk menjadikan kita lebih kuat dalam menapaki terjal dan curamnya kehidupan ini.”
“Don’t be said. You always have me as a lover to share.”

Ah, istriku…… kau selalu menyejukkanku. Kau menyanjungku dengan limpahan kasih sayang. Kau buat aku merasa hebat dengan segenap ketulusan cintamu. Tak pernah kurasakan damai sedamai bersamamu. Reflek, aku mengambil pena dan menulis di balik kertas itu:

“Istri muslimah jauhkan fitnah. Patuh di rumah semai sakinah.
Lembutnya tuturmu selembut tatapanmu. Selalu berjihad tiada jemu.”

Pak Ithonk, pinjam bait nasyid-nya sebentar, ya. Tulisan ini akan kuberikan pada istriku nanti. Aku merasakan ada kekuatan yang hadir di jiwaku. Ringan tanpa beban.
Akhirnya hari ini kulalui seperti biasanya. Normal.


* * *

Sore itu, Ika merasakan pusing, mual-mual dan seluruh badannya lemas. Suaminya belum pulang. Ia mencoba bertahan. Sakit itu tak kunjung mereda. Akhirnya ia memutuskan untuk berobat ke dokter ditemani oleh Budhe.
Beberapa saat kemudian ia sampai di tempat praktek dokter Prita. Untung antriannya tidak panjang. Di dalam ruang periksa , dokter Prita mulai memeriksa dan bertanya-tanya kepadanya.
“Bu, tanggal berapakah anda terakhir datang bulan?” tanya dokter padanya.
“Tanggal 20 bulan kemarin, Bu “jawabnya sambil berpikir. Aneh, apa hubungannya sakitku dengan tanggal itu? Gumamnya dalam hati
Setelah pemeriksaan selesai, ia kembali dipersilahkan duduk oleh dokter. Ia duduk disamping Budhe yang menungguinya.
“Bu, selamat ya, sebentar lagi anda akan mendapatkan momongan” ungkap dokter Prita sambil tersenyum.
“Saya hamil, Dok? “ ia bertanya seakan tak percaya. Dokter Prita mengangguk pasti.
“Alhamdulillah, ya Allah, terima kasih” serunya.
Budhe mencium keningnya dan mengucapkan selamat kepadanya.
Setelah mendengar semua nasehat dan penjelasan dokter, mereka pulang ke rumah dengan wajah bahagia. Ia meminta Budhe supaya merahasiakan berita gembira ini dari suaminya. Ia akan memberi kejutan pada suami tercintanya.

* * *

Pagi. Mendung masih menggantung. Aku bersiap untuk pergi ke kantor. Seperti biasa, aku berpamitan pada istriku. Aku melangkah. Satu, dua, tiga, empat, lima….. Tiba–tiba ia memanggil di ayunan langkahku yang ke-lima.
“Mas ada yang ketinggalan” panggilnya.
Aku berbalik dan mendapatinya sudah berada di belakangku. Aku membungkuk dihadapannya. Wangi parfumnya lebih tajam dari biasanya. Aku menatapnya dengan alis bertaut. Penuh tanda tanya. Ia meraih wajahku. Dibingkainya wajahku dengan kedua tangannya. Ia menatapku untuk beberapa saat. Kulihat wajahnya pucat dan sesekali menahan mual. Aku mulai khawatir.
“Ada apa, Dik? Kamu sakit?” tanyaku padanya.
Ia menggelengkan kepala dan berkata, “Berangkatlah.”
Kemudian aku segera berangkat, karena hari ini aku ada meeting dengan para peneliti dari JAJAKI di Surabaya. Kalau tidak cepat-cepat, aku bisa terlambat . Wah, bisa berabe.
Selama di perjalanan aku berpikir keras. Ada apa dengan istriku? Biasanya kalau dia memakai Azalea-nya lebih tajam, itu berarti ia minta sesuatu. Apa dia meminta oleh-oleh ya? Tapi kenapa dia hanya diam saja tadi pagi? Huh, bingung . Terkadang wanita memang susah untuk dimengerti.


* * *


Udara panas kota Surabaya membuatku kegerahan. Hhh……. Kuusap peluh yang menetes dengan sapu tangan. Setibanya di kantor Surabaya, aku langsung memasuki ruangan meeting. Dingin yang menyejukkan. Ruangan ini ber-AC. Diskusi belum dimulai. Aku duduk mengambil posisi yang paling nyaman.
Aku mempersiapkan semua file-ku. Aku membuka buku agenda kerjaku. Srrt … Ada surat terjatuh. Kubuka amplopnya dan kubaca. Surat itu ditujukan kepada istriku. Hasil pemeriksaan apa ini? Aku bertanya-tanya. Aku tertuju pada satu tulisan yang diberi tanda dengan tinta warna merah.


Whatttt….??? Istriku hamil???
Kubuka lagi amplop itu dan aku menemukan secarik kertas kecil yang bertuliskan:
“Assalamu’alaikum, Abi…..
Alhamdulillah, sebentar lagi Mas akan menjadi seorang ayah.
Mas, tolong belikan buku-buku yang tertera di bawah ini, ya.
1. The Secret Life Of The Unborn Child : Thomas Verny
2. Babies Remember Birth : David Chamberlain
3. The Magical Child : Joseph Chilton Pierce
Thanks, ya Mas. Aku dan anakmu menunggu di rumah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.”

Ooo, pantas saja. Ternyata ini yang dia minta. Hatiku gembira sekali dengan kejutan bahagia ini. Aku berkali-kali menyerukan tahmid dalam hati. Aku langsung bersujud syukur di hadapan Allah. Keyakinanku semakin kuat bahwa Allah tidak akan pernah memberikan ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Dan Dia adalah Maha Berkehendak atas segala sesuatu di muka bumi ini. Allahu Akbar…..
Hari ini kulewati dengan indah. Setelah meeting selesai aku langsung ke Gramedia. Alhamdulillah, buku yang di pesan istriku ada semuanya. Aku juga meminta pegawai toko untuk membungkus buku itu dengan kertas kado. Pasti ia nanti akan gembira. Istriku adalah seorang “Bukumania”. Baginya, buku seolah-olah menjadi mantra yang mampu menjelmakan nafasnya. Aku tersenyum membayangkan wajah ceria istriku. Aku pulang dengan harapan agar cepat sampai di rumah.
* * *

Pukul 20.00. Kumasuki halaman rumahku. Aku membuka daun pintu dan menutupnya kembali dengan perlahan. Saat melintasi ruang tengah kulihat istriku sedang tertidur pulas di ruang baca. Sejurus kemudian aku sudah meletakkan semua barang bawaanku dan segera membersihkan diri. Kemudian aku sholat. Aku melantunkan munajat tulus pada-Nya. Khusyu.
Setelah sujud kepada Rabb-ku, aku beranjak menemui istriku. Kuhampiri dia. Pelan aku membangunkannya,
”Dik, bangun.” Ia membuka matanya dan buru-buru bangkit untuk duduk. Ia menatapku lekat. Lekat sekali. Kilau sejuta bintang menghiasi mata coklatnya.
“Mas sudah datang ? Lama atau barusan?” tanyanya kepadaku. Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan. Aku memberikan bungkusan kado itu kepadanya.
“Ini Dik, alhamdulillah, bukunya ada semua.”
Ia menerimanya dengan kedua mata yang berbinar-binar. Ceria sekali. Itulah binar mata yang aku tidak akan pernah sanggup jika harus kehilangan pancarannya.
“Makasih, Mas” bisiknya pelan.
Tiba-tiba ia menangis dan memelukku. Ia meraih tanganku dan menempelkan di perutnya. Aku diam menurut. Hatiku terbalut rasa haru.
Ia berkata, “Mas, ini amanah dari Allah untuk kita. Bantu aku untuk menjaganya.”
Aku mengganguk mantap. Kemudian aku berbisik dan berdoa dengan penuh harapan.

“Ya Allah,….. karuniakanlah kepada kami, putra-putri yang sholeh dan sholehah, yang selalu taat kepada-Mu, yang selalu taat pada Rosul-Mu, yang selalu mencintai dan selalu menghormati Ibu-Bapak dan orang tua yang ada diantara mereka. Amiin.”

Pada-Mu Rabbi, puji syukur kuat menghambur atas nikmat yang tiada terkira ini. Bahagia itu telah hadir diantara duka-duka yang kami lalui. Terima kasih, ya Allah. Kebahagiaan itu telah menjadi pelangi di hatiku.



* * *

Malang , 28 Mei 2006
Cunik Yupila Mahartiningsih
( nikpiha@yahoo.co.in )
Special to :
1. My beloved Brother : Jika kau masih hidup,
hari ini adalah ULTAH-mu yang ke-24.
“Love U forever”
2. My beloved Murobbi : Semoga Allah selalu menyayangi
dan memberikan kesabaran pada Bunda.
“We will always love U”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,