Melabel Guru
Oleh Muhammad Abdul Manaf
Kapankah seseorang dianugehi gelar guru atau
pendidik? Apakah ketika mereka sudah beruban dan mengajar di depan kelas? Apakah
yang dimaksud pendidik itu adalah orang lulusan sarjana pendidikan? Ataukah yang
dimaksud dengan pendidik itu adalah orang yang berdiri di depan kelas mengajar
mengeja?
jikalau demikian, maka dengan apa kita sebut
orang yang berjuang demi anak jalanan mengajarkan baca tulis itu? Dengan apa
kita harus menyebut teman-teman kita yang merelakan waktunya mengajari kita
kimia, fisika, matematika jika bukan dengan guru atau pendidik?
Bukankah pendidik berasal dari kata didik yang
artinya sama dengan belajar? Tinggal ditambah awalan Pe- maka arti yang aslinya
belajar menjadi pengajar. Maka jika ada yang menyatakan bahwa guru atau
pendidik itu adalah selalu berkutat dengan sekolah, maka mereka salah. Guru atau
pendidik merupakan orang yang mengajarkan kepada orang lain suatu ilmu. Itu adalah
definisi yang bisa saya berikan. Sehingga setiap orang yang mengajari orang
lain suatu ilmu berhak menyandang gelar guru.
Kakak kelas saya yang mengajari saya bermain
biola boleh saya sebut sebagai guru saya. Teman sebangku saya yang mengajari
saya kimia berhak menyandang gelar guru dalam dirinya karena jasanya sudah
membantu saya menghadapi kebutaan ilmu. Saya dan Anda pun berhak mendapatkan
gelar guru ketika kita sudah mengajari orang lain.
Namun pertanyaannya adalah, sepenting apakah
gelar guru tersebut? Tidak terlalu penting amat kan? Orang suka mendapat gelar
guru karena dengan demikian orang tersebut berarti dihormati karena gelar itu. Bandingka
jika dia mendapatkan gelar petani, apa yang terjadi padanya? Bisa saja dia akan
malu. Karena kalau boleh jujur, saya amati bahwa pekerjaan guru adalah
pekerjaan yang tidak bisa dihina, namun juga tidak bisa dibangga-banggakan.
Bagaimana anda bisa membangga-banggakan gelar “guru”
yang melekat pada anda jikalau anda sendiri belum sepenuhnya benar dalam
mendidik anak orang? Pekerjaan guru
adalah pekerjaan jangka panjang. Tidak cukup 3 tahun saja sudah, tetapi guru
harus bisa menanamkan ajarannya selama mungkin kepada sang murid. Jangan sampai
katakanlah masa SMA habis, murid-murid mereka sudah melupkan ajaran mereka.
Pekerjaan guru juga tidak bisa dihina karena
semua orang tahu betapa besar tanggung jawab yang dibebankan kepada guru. Taruhannya
adalah masa depan siswanya. Jika guru sukses mengajar, murid bisa dipastikan
sukses masa depannya. Jika tidak, mungkin si murid harus mencari guru lain agar
bisa sukses. Karena korelasi antara guru dan murid dalam hal pengaruh sangat
kuat. Jika ada guru yang mampu memberikan motivasi yang melekat kepada
siswanya, maka siswa tersebut akan tergerak untuk melakukan hal-hal baik demi
masa depan yang lebih baik. Namun jika tidak, sang siswa bisa-bisa hanya
terjebak dalam kubangan zona nyaman yang makin lama makin hilang ditelan masa.
Sehingga ketika orang tersebut dianugerahi
gelar guru, secara otomatis mereka juga akan dibebani tanggung jawab untuk
membimbing si anak itu menuju sukses. Inilah yang berat, maka jangan heran ada
juga seorang guru yang tidak mau dipanggil Pak Guru atau Bu Guru karena merasa
belum layak untuk mendapatkan gelar tersebut. Tetapi lebih mengherankan lagi
banyak orang yang ingin dipanggil atau secara kasar dilabeli sebagai guru. Buktinya
setiap tahun yang mencalonkan diri jadi guru berjuta-juta.
Entah dipanggil guru atau bukan semua orang yang
mengajari orang lain itu berhak mendapatkan gelar tersebut. Namun terserah
orang tersebut mau menerima gelar guru atau tidak. Kalau mau, ya siap saja
mendapatkan berbagai macam tanggung jawab. Asalkan, jangan ingin menjadi guru
hanya karena terikat gaji dan label “guru” yang memberi kesan pahlawan tanpa
tanda jasa. (naf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,