Learn to Fly
by M A Manaf
Raffi menatap datar layar komputer yang ada di depannya. Dadanya
dag dig dug. Bahkan sejak tadi pagi ketika temannya mengatakan bahwa sore
kemarin pengumuman SBMPTN usdah ada. Sekarang dia ada di warnet favoritnya
mengecek nasibnya lewat jaringan computer. Tangannya yang dari tadi gemetaran
memegang mouse langsung berhenti lemas melihat tulisan yang tertera di layar komputer
itu. Tulisannya simple, tidak aneh-aneh. Hitam bold yang tertulis secara
kapital dengan background warna putih. Seakan mengatakan kalau pernyataan ini
absolut, dan ketika dia benar-benar menelan kata-kata itu, hampa tak berasa,
dia bisa mendengar jantungnya berdegup tak karuan, dadanya panas dan kemudian
boom! Hampa. Tak berasa apa-apa.
ANDA
TIDAK LOLOS SBMPTN
Sembari membaca tulisan itu berkali-kali dengan rasa tak
percaya, hatinya panas, terasa aneh, seperti ada yang memeras dan memanaskannya
sekaligus. Itu hanyalah adrenalin, pikirnya. Namun dia tahu jauh di
dalam hati kecilnya dia tahu, itu adalah rasa ketika impiannya pecah
berkeping-keping seperti kaca yang hancur.
“Tak mungkin”, bisiknya tak percaya.
Dia menarik nafas dengan pelan, ayo tenangkan diri, atur
nafas, ini pasti ada kesalahan, aku pasti lolos kok, ini pasti error. “UUhhh…huuuuhhh”,
dia hanya mendengar suara nafasnya di telinganya, meski kenyataannya penghuni
warnet disekelilingnya ramai berbincang dan bermain game.
Dia memutuskan untuk membuka facebook dan e-mail untuk
mencari hiburan. Ayolah, kalau error pasti beberapa menit lagi akan ada
perbaikan. Di facebook dia melihat status teman-temannya yang diterima di
universitas pilihan mereka. Ada mengucap Alhamdulillah, ada yang berucap Puji
Tuhan, Thank God, berbagai macam bentuk syukur yang ditujukan pada yang Maha Kuasa.
Tapi aku sedang tidak bersyukur. Raffi melihat-lihat grup sekolahnya,
mencari-cari teman-teman senasib. Jari-jarinya bergerak lincah menggenggam
mouse computer dan suara klik klik klik terdengar di kepalanya. Seperti dengan
membuka banyak tab sekaligus bisa menghilangkan rasa aneh yang ada di dadanya.
“Wah, ada satu teman senasib!”, gumamnya. Entah kenapa rasa
aneh yang ada didadanya sedikit berkurang. Dia langsung melihat profil
temannya. Tulisan galau dan sok filosofis terbaca olehnya.
Bukankah biasanya yang kuat yang mendapat cobaan? Toh
Tuhan pasti akan memberikan penyelesaian kan?
Dia membaca tulisannya dan mengklik, like di status itu.
Dalam hati dia tersenyum sinis, betapa manusia mencari sokongan semangat dari
kata-kata yang mungkin dia sendiri belum terlalu paham apa artinya. Pasti
dia Cuma sok tabah, mungkin sekarang dia lagi di depan computer nangis. Munafik!
Mungkin dia tidak akan menulis seperti itu jika dia sudah bekerja keras
seperti Raffi. Setidaknya jika dia tahu bagaimana aku mengikuti bimbingan
belajar dan menelan soal-soal SBMPTN seperti snack, pikir Raffi sarkastik.
Raffi kemudian ingat dengan hipotesis hasil error milik
akunnya. Cepat-cepat dia mengetik lagi alamatnya dengan berdoa semoga apa yang
dia prediksikan betul. Kemudian dia memasukkan nomor miliknya pelan-pelan,
sambil lirih berdoa. Tangannya gemetar lagi. 1-3-1-5-5-0-5-4-7-3, kemudian
memasukkan tanggal-bulan-tahun yang sangat akrab dengan dia akhir-akhir ini
gara-gara keseringan mengisis formulir untuk kuliah.
Dia menarik nafas lagi, tangan kirinya di dada dan dia
menghadap keatas seperti meminta petunjuk. Tangan kanannya yang tiba-tiba
gemetar memegang mouse mengklik kolom dengan tulisan Lihat Hasil.
Dia memejamkan mata dan dalam detik ini dia merasa bodoh sekali
berharap kejaiban terjadi. Peluangnya mungkin satu banding sejuta, bodoh!. Namun
rasa penasarannya menang. Dia menatap layar komputernya penuh harap, matanya
yang tadi bercahaya dengan harapan mati seketika ketika dia melihat tulisan
yang sama yang menimbulkan rasa seperti terbakar dan diperas sekaligus pada
hatinya.
ANDA
TIDAK LOLOS SBMPTN.
***
Dalam perjalanan pulang dia masih belum percaya dengan apa
yang menimpa dia. Ini pasti kesalahan, Dia selalu mendapat PG tinggi yang
seharusnya bisa menjebol pilihan pertamanya. Ini bahkan pilihan kedua dan
ketiga tidak ada yang masuk. What the hell!, dengan umpatan itu dia
menendang kerikil di depannya, seketika kerikil itu meloncat jauh, melambung
dan menuju arus kendaraan di jalan yang Ia lalui. Seorang pengendara sepeda
motor menatapnya garang dan berucap tanpa suara yang Raffi tangkap sebagai
makian. Raffi hanya melihat pengendara sepeda motor itu dengan muka datar dan
mata menatap tajam, seakan mengatakan peduli apa?
***
Sesampainya di rumah, Raffi langsung menuju dapur mencari air
minum. Sebelum dia sampai di depan kulkas, ibunya datang. Wanita paruh baya
tersebut tersenyum dengan ramah menatap Raffi, tangannya sibuk mengaduk sesuatu
yang berbau sedap. Dia berharap dengan membuka pengumuman SBMPTN nya di warnet
dia masih ada waktu untuk menyiapkan jawaban jika ada hal buruk terjadi, meski
jaringan internet di rumahnya ada 24 jam.
“Gimana Nak, pengumumannya?”
Tak siap dengan pertanyaan Ibunya, Raffi membuka kulkas dan
mengambil air minum sambil menjawab, “Nggak lolos Ma”, dibukanya tutup botol
jus jeruk kemudian diminumnya dengan pelan tanpa menatap Ibunya.
“Maksud kamu?”, Ibunya masih belum paham.
“Ya, nggak lolos Ma. Aku nggak masuk kedokteran”, jawab Raffi
setengah hati.
“Tapi kamu masuk dipilahan dua kan?”, Ibunya bertanya penuh
harap. Sejenak dia berhenti mengaduk sup. Apinya dia kecilkan.
Raffi menutup botol jus jeruk dan memain-mainkannya, “Nggak
Ma, nggak ada universitas yang nerima aku lewat SBMPTN ini”, Raffi berhenti
sejenak, “Maaf Ma”. Shit! Kenapa mata gue berair,Shit!
Ibunya yang melihat Raffi menekuk kepala dengan sedih menuju
Raffi yang sekarang duduk di kursi meja makan. Ibunya dengan pelan menaruh
tangannya di pundak Raffi.
“Jangan sedih Raffi, kalau kamu nggak bisa masuk kedokteran,
berarti memang sulit seleksi masuknya”. Mendengar kata-kata Ibunya yang penuh
dengan rasa pemahaman entah kenapa membuat Raffi tambah melankolis. Dengan gaya
sewajar mungkin dia mengucek matanya, gue gak boleh nangis, Damn!.
Dengan pelan, Raffi balik badan menghadap Ibunya, “Ma, entar
gimana ngomong ke Ayah?”, dia bertanya dengan pelan. Dia melihat Ibunya
menggigit bibir dan matanya menerawang.
“Nanti saja dibahas, toh Ayahmu belum pulang kerja kan?”,
Ibunya berkata dengan meyakinkan, “Sudah, gak usah nangis, sekarang cari adik
kamu Mia di rumah tetangga, mungkin di rumah temen kamu Naufal. Sekarang
adiknya sama adik kamu geng. Ajak pulang, karena makan siang udah siap”, Ibunya
tersenyum sambil kembali menuju kesibukannya.
“Ma, Raffi gak nangis. Ini cuma kena debu SBMPTN”, Raffi
membantah sambil berjalan pergi ke luar lagi. Entah kenapa memikirkan
percakapannya dengan Ibunya membuat dia tersenyum.
***
“Assalamu’alaikum…”, Raffi sekarang berdiri di depan pintu
rumah sahabat SMP nya. Dari pintu dia bisa mendengar suara cempreng adiknya
bermain dengan anak lain, dia juga mendengar suara televisi yang sepertinya
menayangkan film anak-anak. Sambil mencuri dengar, dia mendengar suara langkah
kaki bergegas menuju pintu.
“Waalaikum salam…”, Ucap seorang cowok sebaya Raffi, “Eh
Raffi, gimana bro SBMPTN kamu?”, ucap Naufal sambil mengulurkan tangan,
menjabat tangan Raffi.
Tak siap dengan serbuan pertanyaan, dia berusaha menjawab
dengan gaya sebiasa mungkin.
“Gak masuk tuh. Gagal”, ucap dia sembari menyunggingkan bibir
yang menyerupai senyuman, “Kamu gimana?”, Raffi balas bertanya sambil mengikuti
Naufal duduk di ruang tamu.
“Yah, “, dia mendengar Naufal mendengus, “Sama nggak
lolosnya”.
Mendengar ucapan Naufal
membuat Raffi terkejut sendiri. Ternyata dia tidak sendirian menghadapi
beban kegagalan SBMPTN. Sahabatnya juga bernasib sama, dan mungkin ribuan
pelajar sekarang juga menghadapi situasi yang sama. Memikirkan itu membuat rasa
sakit di dadanya berkurang.
“Kok bisa?”, tanya Raffi.
“Nggak tahu juga, mungkin gara-gara ngambilnya terlalu tinggi
kali ya, jadi nggak bisa masuk,” Raffi mendengar Naufal mendengus lagi dan
menjelaskan, “Atau kalah doa sama anak-anak lain”, Naufal tersenyum sambil
membenahi kacamatanya.
“Emang kamu milih apa
aja?”, Tanya Raffi yang sekarang menghadapi Naufal dengan serius.
“FTTM ITB, FTMD ITB, sama Teknik Geologi ITS. Dari ketiga itu
nggak ada yang masuk, padahal aku yakin banget setidaknya bisa masuk ITS, tapi
ya nggak tahu lagi”, Naufal mengangkat bahu kemudian melanjutkan, “sedih sih
gagal SBMPTN, tapi hidup nggak berhenti gara-gara SBMPTN kan?”, Naufal
menambahkan secara retoris sambil tersenyum. Wajahnya tenang, matanya cerah.
Raffi tak habis pikir bagaimana Nufal bisa menghadapi kenyataan ini dengan
sikap yang tenang.
“Tapi kalau gagal SBMPTN ini kan, gimaan ya, malu banget men,
apa kata temenku yang lain? Bukannya Raffi siswa teladan ya? Kok nggak bisa
masuk SBMPTN sih?”, ucap Raffi menirukan celotehan yang mungkin akan muncul
ketika semua temannya tahu Raffi nggak lolos SBMPTN.
Naufal membenahi kacamatanya dan berkata, “Emang aku juga
nggak digituin?”, sejenak dia menatap Raffi sambil menaikkan salah satu
alisnya, kemudian dia melanjutkan, “Kayak gitu lumrah kok sebenarnya, semua
orang pasti bertanya-tanya penasaran kenapa kita yang dianggap bisa malah nggak
lolos. SBMPTN itu yang ikut jutaan, yang diterima berapa, cuma seratus ribu
berapa kan? Selain pake otak, pake doa juga. Bener mungkin kita termasuk
pintar, otak kita encer, tapi doa kita? Hubungan kita sama Tuhan? Siapa yang
tahu? Temen-temen kita yang mungkin kita anggap biasa tapi bisa masuk SBMPTN
kan juga piihannya beda sama kamu yang kedokteran atau aku yang FTTM ITB.
Saiangannya ketat…! Lumrah lah kalau nggak lolos”, Naufal tersenyum diakhir
ucapannya yang seperti khotbah menurut Raffi.
Raffi berpikir sebentar mendengar khotbah Naufal.
Membenarkan poin-poin yang diucapkan sambil menganggukkan kepala tanda setuju
meski dia masih belum percaya kok bisa dia tidak diterima,”Terus langkah kita
selanjutnya gimana? Aku denger kan ITB nggak nerima mahasiswa diluar jalur
undangan sama SBMPTN kan?”, Raffi bertanya kepada Naufal.
Mendengar pertanyaan itu, Naufal menjawab dengan tersenyum,
“Emang sih. Kecewa mendengar kalau ITB nggak nerima mahasiswa diluar kedua
jalur tersebut. Tapi ya mau gimana lagi”, ucap Naufal pasrah, “Mungkin aku akan
ngambil di ITS yang masih ada hubungannya dengan pertambangan, belajar lebih
giat agar menonjol, terus bisa dapat beasiswa S2 diluar negeri. Bagi kita yang
kata kamu pinter ini”, Naufal menekankan kata pinter seperti mengejek
“Kita malah ada banyak kesempatan untuk menonjol dan mendapatkan beasiswa.
Kalau aku di ITB misalnya, saingannya banyak banget. Pasti pinter-pinter.
Kesempatan agar menonjol juga berkurang kan?”, Lagi-lagi Naufal mengeluarkan
argumen yang masuk akal.
“Bagi kamu yang pengen masuk kedokteran UI lewat SBMPTN,
bener kamu emang nggak lolos. Tapi kamu ikus Simak UI dan Utul UGM kan? Doa
terus agar bisa diterima. Terus masih ada juga alternatif universitas lain yang
punya faklutas kedokteran yang bagus yang mungkin masih bisa nerima kamu kayak
UNAIR sama UB. Apalagi uang kayaknya bukan masalah bagi keluarga kamu. Percaya
deh Raf, dari semua temenku, kamu lah orang yang paling beruntung meski kamu
nggak diterima lewat jalur SBMPTN”, ucapan Naufal kali ini menohok Raffi.
Sejak tadi setelah pengumuman dia selalu merasa kacau,
kecewa. Namun setelah mendengar perkataan Naufal tadi, dia masih punya banyak
kesempatan untuk mengambil kedokteran dibandingkan dengan anak lain, dan dia
juga bisa lebih menonjol nantinya. Asyik, bisa berkesempatan menjadi
mahasiswa teladan, pikir Raffi optimis.
“Terus ini ada juga”, Naufal melanjutkan lagi, “Kamu atau
kita ini lebih beruntung dibandingkan temen-temen yang tertarik dengan jurusan
yang cuma ada di universitas tertentu saja, nggak ada yang lain. Contohnya
adalah SITH-Rekayasa ITB. Jurusan bioengineering itu cuma ada di ITB doang.
Nggak ada di universitas lain. Temenku ada yang kayak gitu. Dia suka banget
dengan bioengineering dan dia juga udah optimis bisa diterima soalnya
nilainya dia kalau TO SBMPTN itu pasti tinggi, bisa masuk jurusan itu.
Ternyata, dia nggak masuk. Bandingin dengan kamu, kayaknya dia sudah terobsesi
dengan SITH-Rekayasa ITB. Nah, sekarang dia bingung sendiri gimana nanti
kuliahnya. Percaya deh, kamu lebih beruntung”, Naufal menyimpulkan dengan
meyakinkan.
Raffi kembali tertohok, “Thanks ya udah bikin aku lebih
baik”, Raffi berusaha tersenyum terus dia ingat tujuan dia kesini, “Aku mau
jemput Mia dulu, tadi Mama udah nyuruh aku buat jemput dia”, Raffi berkata
sambil berdiri.
“Oh ya, aku juga lupa”, Naufal tersenyum, “Eh, besok kalau
kamu mau riset universitas bareng aku kesini aja atau aku ke rumah kamu,
gimana? Toh aku juga udah lama banget nggak ke rumah kamu”, Naufal berkata
sambil mengantarkan Raffi ke ruang keluarga untuk menjempt adiknya.
Sambil berjalan pulang, Raffi berfikir mengenai perkataan
Naufal tadi. Betapa egois nya dia berfikir bahwa dia adalah orang yang paling
kecewa dan paling tidak beruntung, padahal sekarang teman-temannya pasti banyak
juga yang mengalami hal yang sama. Raffi mengingat bahwa dari kecil dia belum
pernah merasakan rasanya tidak bisa mendapatkan sekolah favoritnya. Dari SD
hingga SMA dia selalu diterima di sekolah idamannya, mungkin sekarang saatnya
roda harus berputar. Dia harus bisa merasakan bagaimana deseperate nya
anak yang belum mendapat sekolah agar dia bisa lebih rendah hati dan memiliki
mental yang kuat. Toh, dia masih punya Simak UI dan Utul UGM. Raffi tiba-tiba
tersenyum, dia masih punya harapan untuk masuk fakultas kedokteran. Pengalaman
ini akan membuatnya untuk belajar terbang. Bukankah kalau kita ingin terbang
kita harus menjejak tanah dahulu, susah dahulu, jatuh, baru kita bisa
membentangkan sayap dan terbang diangkasa. Tiba-tiba dia merasakan sesuatu
yang familiar tapi dia tidak bisa mengungat apa itu, kayaknya ada
hubungannya dengan lagu.
“Mia, hati-hati!”, Raffi menggandeng tangan adiknya pulang.
***
Raffi duduk dengan deg-degan waktu makan malam. Dari tadi dia
berusaha agar tidak menatap wajah Ayahnya yang sedari tadi tidak menunjukkan
ekspresi apa-apa. Dengan pelan dia makan sambil berfikir bagaimana mengatakan
kegagalan SBMPTN kepada Ayahnya. Sebelum
dia mengatakan sesuatu, Ayahnya sudah bertanya,
“Raffi, gimana SBMPTN kamu Nak?”, Ayahnya melihatnya dengan
tajam dari kacamatanya. Sekilas seperti ada kilatan cahaya di kacamata Ayahnya,
membuat wajahnya yang impassive tambah membuat Raffi takut.
“Hmm, itu Yah, Raffi nggak lulus SBMPTN”, Raffi hanya menatap
makanannya yang tinggal setengah sambil berdoa. Suasana hening, Mia yang
biasanya ramai waktu makan dengan denting piring tak biasanya tenang.
“Raffi jangan dimarahi ya Pa, kasihan dia”, Mamanya ikut
nimbrung, berusaha agar Raffi tidak kena amuk, “Dia sudah berusaha kok”,
Mamanya menambahkan.
“Mungkin tak cukup berusaha”, Ayahnya berkata tajam, “Kamu
tahu kan Ayah berharap kalau kamu itu bisa jadi dokter kayak Ayah. Kamu juga
sudah setuju kalau kamu ambil kedokteran. Ayah punya harapan besar agar kamu
yang katanya pintar ini bisa mengambil kedokteran. Ini sudah tradisi di
keluarga kita, Kakek kamu juga dokter, Ayah juga dokter”, Ayahnya berhenti
mengambil nafas secara berat, “Tetapi sepertinya kamu mengecewakan Ayah lagi”,
Raffi hanya diam. Matanya tak lepas dari makanannya yang
tinggal setengah tak tersentuh. Hatinya yang hampir sembuh sakit lagi mendengar
perkataan Ayahnya.
“Ayah sudah memaafkan kamu yang hanya bisa meraih peringkat
tiga nilai tertinggi UNAS kemarin, kamu harusnya bisa membuat Ayah bangga di
SBMPTN ini. Kamu kan sudah Ayah daftarkan les untuk SBMPTN, kamu nggak serius
ya?”, sejenak Ayah Raffi berhenti, “Jawab Raffi”, Ayahnya sekarang memandang
Raffi meminta penjelasan.
Entah kenapa kata-kata ayahnya yang diutarakan secara
pelan-pelan malah membuat Raffi semakin takut.
“Raffi serius kok Yah”, Sejenak Raffi memandang ibunya
meminta dukungan kemudian kembali memandang Ayahnya, “Setiap try out Raffi lolos, tapi nggak tahu kenapa
waktu SBMPTN kemarin nggak lolos. Banyak juga kok teman Raffi yang nggak lolos
ujian masuk tahun ini”, Raffi berhenti sebentar terus melanjutkan dengan pelan
sambil menunduk lagi, “Mungkin sudah takdirnya”.
“Ayah nggak mau tahu alasannya. Kamu harus bisa masuk
kedokteran, atau kamu ingin masuk jurusan lain?”
“Nggak Yah, Raffi tetap ingin masuk fakultas kedokteran”,
Raffi kembali memandang Ayahnya. Raffi sudah jatuh cinta dengan kedokteran.
Jangan sampai Ayahnya berfikir bahwa dia sudah pindah minat.
“Oh begitu”, Ayahnya hanya menanggapi datar. Kemudian Ayah
Raffi berpaling untuk berbicara dengan istrinya dan anaknya yang tidak didengar
oleh Raffi. Dalam otak Raffi hanya terngiang perkataan Ayahnya tadi.
Raffi memutuskan untuk melanjutkan makanannya dengan cepat
dan segera kembali ke kamar. Ketika dia melangkah pergi, dia mendengar Ayah dan
Ibunya berdiskusi mengenai langkah yang harus diambil untuk membantu Raffi
melanjutkan kuliah. Sejenak dia berusaha menguping dibalik tembok. Dia
mendengar perkataan mengenai mandiri, uang perkuliahan, dan kesediaan Ayahnya
untuk membiayai perkuliahan Raffi di fakultas kedokteran. Mendengar ini dia
tersenyum dan bersyukur. Setidaknya dia masih bisa bersekolah meski lewat jalur
mandiri, meski mahal tapi keluarganya masih mampu. Lagi-lagi, rasa sakit di
dadanya berkurang. Kemudian dia pergi menuju kamar dengan perasaan lebih lega.
Ternyata kemarahan Ayahnya tidak semengerikan yang dia bayangkan, meski tadi
cukup dingin.
***
Pagi harinya dia bangun telat, ketika dia melihat jam kamarnya,
dia melihat sekarang sudah pukul 8 pagi. Sambil duduk di kasur dan mengucek
mata, pikirannya langsung berputar ke saat sahur bersama keluarganya diwarnai
dengan pernyataan ayahnya yang mendukung Raffi bila dia mengambil jalur mandiri
kedokteran, ayahnya juga berkata bahwa dia akan mendoakan Simak UI dan Utul UGM
Raffi bisa sukses. Mengingat itu dia tersenyum dengan lega. Dia bangun dan
berkaca, dia baru sadar kalau dia masih memakai baju koko yang dia pakai sholat
shubuh tadi.
Dia mengecek HP nya, ada sms dari Naufal yang mengajak
browsing bareng mengenai jalur-jalur mandiri universitas di rumahnya pukul 10
nanti. Raffi sekarang menyalakan music player di HP nya, dia hubungkan dengan
speaker dan dia mulia beres-beres kamar. Ketika dia menuju kamar mandi
kamarnya, dia mendengar lagu yang agak asing di HP nya. Sejenak dia berhenti.
Oh, lagu baru yang dia dapat dua hari sebelum tanggal 8 kemarin dari radio.
Sambil mandi, dia ikut bernyanyi mengikuti lagu oleh Shannon
Noll,
When you feel the dream is over,
Feel the world is on your shoulders,
and you've lost the strength to carry on.
Even though the walls may crumble,
And you find you always stumble through,
Remember never to surrender to the dark.
Cos if you turn another page,
You will see that's not the way, The story has to end.
If you need to find a way back,
Feel you're on the wrong track,
Give it time, Learn to fly,
Tomorrow is a new day,
You will find you're own way,
You'll be stronger with each day that you cry,
Then you'll learn to fly.
Sungguh aneh, batin
Raffi. Kenapa tepat sebelum dia mengetahui pengumuman SBMPTN dia sudah memiliki
obat untuk mengatasi galau hatinya itu. Learn to Fly, seperti
yang dikatakan Naufal kemarin. Dia harus belajar untuk menerima kenyataan dengan
hati lapang. Yang lalu adalah pelajaran yang berharga. Dengan ditolaknya dia
lewat jalur SBMPTN ini akan mengajarkan Raffi untuk bersyukur dengan apa yang
dia miliki dan berjuang dengan keras untuk bisa mendapatkan apa yang dia
inginkan. Dia mengingat perkataan ayahnya saat sahur tadi, dan dia tersenyum.
Looking at your situation,
There's so much that you can do,
Now's the time to make your stand.
This is just an observation,
In the end it's up to you,
The future's in your hands.*
*Learn to Fly, song by Shannon Noll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,