Aku akan
menceritakan ini dengan menghela napas panjang
Suatu waktu,
bertahun-tahun kemudian
Dua jalan
terpencar di sebuah hutan kekuningan
Dan aku-
Aku
mengambil jalan yang paling jarang dilalui
Dan itu
mengubah segalanya
Di hari Rabu yang cerah, aku duduk di bawah
pohon palem dengan membaca buku The Historian yang sudah berkali-kali aku baca namun
kesan misterius yang ada di dalamnya tidak menghilang. Saat itu aku sedang
menunggu kedatangan university counselor sekolah aku yang ternyata
datang 2 jam lebih lambat dari yang dijadwalkan. Padahal aku sudah datang sejak
pukul 9 dan harus melepas janji untuk bertukar sapa dengan teman aku yang
tiba-tiba datang disaat aku membutuhkan tumpangan.
Setelah aku berkeliling, duduk membaca buku,
mengangumi bangunan yang diadptasi dari Arc de Triomphe Perancis, aku mulai
lelah dan kembali lagi membaca buku. Sambil duduk, aku mulai mempertimbangkan
keputusan yang aku buat. Apakah aku bisa berkomitmen untuk mengambil ujian
SBMPTN lagi tahun depan sementara aku mengambil gap year atau apakah aku
harus mengambil PTS yang jelas-jelas sudah ada dan aku tinggal mengurus
adiministrasinya. Kedua keputusan tersebut menghantui aku terus, pakah benar
yang aku lakukan.
Matahari tepat diatas kepala dan teman aku
Ade, mulai sms. Kamu dimana?. Mereka berarti sudah dekat. Aku mulai
berdiri dan stand by di parkiran SLG (Simpang Lima Gumul) untuk menunggu
mereka. Ketika mobil berwarna silver mendekat dan membunyikan klaksonnya, aku
tahu kalau itu mereka dan aku melambiakan tangan menyambut.
Miss Novi, university counselor tetap
terlihat sama seperti terakhir aku bertemu dengan orangnya. Ade juga demikian.
Setelah bertukar sapa dan kabar kami mulai berjalan menuju monument melewati
jalan ruang bawah tanah sambil berbicara.
“Jadi gimana Manaf?”, Miss Novi bertanya. Aku
sudah tahu kalau beliau akan bertanya mengenai universitas meskipun subjek yang
ditanyakan kurang jelas.
“Aku belum diterima dimanapun, mungkin akan
mengambil gap year tahun ini dan mencoba lagi tahun depan”, aku menjawab
dengan sedikit malu.
Akhirnya, dengan berdiri di depan pintu
masuk di jalan bawah tanah SLG, kami berbicara mengenai masa depan.
Miss Novi terus meyakinkan saya untuk
mengambil PTS, jangan sampai menganggur setahun, karena bisa saja nanti
kebablasan. Masalahnya semua PTS yang menerima aku ada di Jakarta, and I
hate Jakarta without reasonable reason, merely by heart. Aku masih ingin
ambil PTN, selain lebih murah, jurusan yang aku inginkan juga ada di PTN, tidak
di PTS, yakni jurusan yang berkaitan dengan biotechnology.
Miss Novi terus meyakinkan aku, dan aku
mulai goyah. PTS sounds cool after she speaks about it . namun di hatiku
tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. Lebih baik gap year
setahun daripada mengambil PTS.
Setelah berbincang selama satu jam, dan aku
juga masih belum memberikan jawaban yang pasti. Aku berjanji padanya akan
memberikan jawaban setelah aku memikirkan masak-masak. Aku berharap masih
ada PTN yang buka pendaftaran, dan PTN itu benar-benar berkualitas.
Di akhir pertemuan, Ade menceletuk. “Sangat
simbolis ya, membicarakan persimpangan masa depan di tempang yang bernama
Simpang Lima Gumul”, Simpang Lima Gumul atau lebih dikenal dengan nama SLG
memang sebuah monument yang menandai adanya simpang lima yang menuju beberapa
daerah seperi Malang, Surabaya, dan tempat-tempat wisata di Kediri. “Mungkin 4
tahun lagi kita akan membicarakan hal yang sama di sini”, ungkap Ade penuh
canda. Aku hanya mengangguk angguk. Memang benar, bisa saja 4 tahun lagi
kita akan bingung mencari kerja, atau nikah. Memikirkan itu membuatku
tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,