Saat
ini, konsep pendidikan di sekolah diobral. Berbagai macam opsi sekolah dengan beragam
konsep tersedia. Ada konsep pendidikan
karakter, holistic education, sekolah kepemimpinan, keagamaan, sekolah
yang menonjolkan prestasi akademis seperti olimpiade hingga RSBI (Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional) yang menuai kontroversi.
Meskipun
begitu, tidak ada satupun konsep sekolah yang mampu menarik hati saya hingga
membuat saya tersenyum senang jika saya berhasil menjadi siswanya kecuali
sekolah kepemimpinan. Saya terinspirasi dari sekolah saya sendiri, SMAN 10
Malang (Sampoerna Academy), buku The Leader in Me, dan juga buku Seven
Habbits for Highly Effective Teens yang keduanya merupakan karangan Steve R
Covey dan Sean Covey. Dari situ, kemudian saya olah dengan ide saya sendiri.
Sekolah
kepemimpinan yang saya maksud bukan hanya mencetak pemimpin masa depan yang
berkarakter, namun juga yang mampu menjadikan kepemimpinan itu sebagai gaya
hidup. Artinya, setiap siswa di sekolah itu mampu membawa diri mereka dengan
baik, memiliki visi yang jelas bagaimana merayakan kehidupan ini dan mampu
berkontribusi terhadap masyarakat atas apa yang mereka peroleh sekarang.
Menurut
saya, banyak sekolah yang terlena dengan angka. Maksudnya, banyak sekolah yang
selalu ingin menjadi terbaik dalam bidang akademis. Hal itu dapat dibuktikan
dengan banyaknya sekolah yang memforsir siswanya untuk mendapatkan nilai tinggi
dalam ujian, mendapatkan emas dalam olimpiade, dan selalu unggul dalam
akademis. Efek sampingnya, banyak siswa yang lupa dengan hal-hal kecil dan
mendasar untuk hidup dimasa depan, seperti cara berkomunikasi yang baik,
bagaimana memotivasi diri, bertanggung jawab, bagaimana cara menyelesaikan
masalah dengan cara pro aktif dan sebagainya. Sehingga banyak kan, orang-orang
pintar namun tidak bisa bersosialisasi, atau orang pintar namun egois.
Tentunya,
untuk menjadi sekolah berbasis kepemimpinan, ada unsur-unsur yang harus mendukung
di dalamnya. Seperti bagaimana kualitas guru dan attitude-nya, fasilitas
dan lingkungan sekolah yang ada, bagaimana hubungan guru dan orang tua,
bagaimana hubungan antar siswa, dan yang paling penting, bagaimana
kurikulumnya.
Guru,
yang paling penting bukan hanya kemampuannya dalam mengajar, namun juga
sikapnya kepada siswa. Guru harus bisa memahami siswa, memotivasi siswa, dan
menunjukkan contoh-contoh positif yang dapat membangun jiwa kepemimpinan
siswanya. Mereka juga bisa menjadi orang tua sekaligus teman bagi siswa.
Sehingga, tugas guru akan menjadi lebih luas dan juga lebih lama, tugas guru
tak terbatas dalam kelas dan sekolah. Di luar kelas pun, guru harus menjadi
contoh bagaimana sifat kepemimpinan itu berlangsung.
Selain
guru yang mendukung, perlu juga menciptakan atmosfer sekolah yang mampu
memotivasi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Saya sudah
sering mendengar banyak anak yang punya potensi dalam bidang seni, namun karena
atmosfer sekolahnya lebih mengedepankan akademis, maka potensi anak itu
meredup. Saya tidak ingin di sekolah kepemimpinan yang saya idamkan hal ini
terjadi. Saya ingin setiap anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi
dan menemukan impian mereka. Oleh karena itu, sekolah kepemimpinan harus bisa
menciptakan kesempatan ini dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang
mendukung seperti alat-alat seni untuk pencinta seni dan science laboratory untuk
anak yang gila dengan penelitian sains. Selain itu sekolah juga harus mendukung
kegiatan olahraga, organisasi, dan kegiatan bakti masyarakat yang bertujuan
untuk mengamalkan apa yang sudah dipelajari di sekolah ke masyarakat.
Dalam
sekolah yang baik, hubungan antar orang tua dan guru merupakan salah satu
parameter yang harus diukur. Orang tua dan guru harus bisa menjadi partner yang
harmonis dalam memberikan pendidikan kepemimpinan kepada siswa. Jangan sampai
sifat kepemimpinan melekat pada siswa di sekolah, namun ketika di rumah
karakter-karakter kepemimpinan itu terlupakan. Selain itu, guru dan orang tua
harus bahu membahu untuk memantau perkembangan siswa, untuk itu perlu dijaga
komunikasi yang baik antar kedua belah pihak.
Selain
hubungan antara orang tua dan guru, hubungan antar siswa juga parameter yang
tak kalah penting. Sudah selayaknya hubungan antar siswa itu akrab dan
harmonis. Antar siswa saling mendukung satu sama lain dalam hal kebaikan, saling
menghormati, toleransi, menghargai satu sama lain, mengingatkan satu samal lain
jika ada yang khilaf, dan bisa saling memotivasi antar teman. Jika pun ada
kompetisi, maka diharapkan kompetisi itu berlangsung secara sehat. Saya sudah
sering melihat teman-teman saya melakukan kompetisi secara sehat. Meskipun A
dan B berkompetisi untuk mendapat nilai tinggi dalam pelajaran biologi, kompetisi
itu hanya akan berlaku saat jam ujian saja. Diluar itu, mereka berdua aktif
membantu dalam belajar. Saya berharap di sekolah kepemimpinan nanti hubungan
antar teman itu bisa seperti itu.
Karena
ini adalah sekolah kepemimpinan, maka kurikulum di dalam sekolah ini memegang
peranan fundamental. Selain menjadi fondasi untuk menentukan bekal apa saja
yang perlu dibawa siswa-siswi mereka berlayar mengarungi hidup, kurikulum itu
juga dibutuhkan untuk mengasah potensi mereka.
Jujur,
saya kurang ‘sreg’ dengan kurikulum Indonesia sekarang ini. Menurut saya,
pembatasan minat untuk IPA atau IPS sungguh membuat siswa terperangkap dan
membuat mereka galau untuk meraih cita-cita mereka. Orang seperti saya
yang cinta biologi namun kurang berminat untuk memperdalam fisika akan
terperangkap di kelas IPA yang membuat jenuh. Kurikulum yang saya inginkan
adalah kurikulum yang membuat siswa-siswi nya berhak memilih pelajaran yang
mereka inginkan, meskipun mereka juga wajib mengikuti mata pelajaran wajib
seperti kewarganegaraan.
Saya
ingin sekolah kepemimpinan juga memiliki kurikulum seperti itu. Nanti, setiap
siswa akan mengikuti pelajaran wajib seperti kewarganegaraan, matematika, sejarah
dan budaya Indonesia, agama (disesuaikan dengan agama masing-masing), dan yang
penting kepemimpinan. Untuk pelajaran kepemimpinan akan menggunakan metode dari
7-Habbits dan juga The Leader in Me dari Steven R Covey. Selain itu mereka
berhak memilih pelajaran yang lain. Bagi yang suka sains mereka bisa memilih
Fisika, Kimia, atau Biologi. Begitupun dengan siswa yang suka IPS. Diharapkan,
dengan memilih pelajaran yang sesuai dengan minat mereka, mereka akan lebih
fokus dan serius dalam mempelajarinya.
Permasalahan
lain yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan pendidikan lanjutan mereka. Sistem
masuk universitas akan diganti. Bukan berdasarkan IPA, IPS, atau IPC lagi.
Namun mereka cukup mengambil tes kemampuan dasar, potensi akademik, rapor dan
hasil ujian mereka. Untuk menambah poin, mereka juga bisa mengambil tes mata pelajaran yang sesuai dengan jurusan
mereka yang sudah terintegrasi secara nasional. Contoh, jika saya akan
mengambil jurusan bioteknologi waktu kuliah, maka di SMA setidaknya harus
mengambil pelajaran Biologi dan mengambil tes mata pelajaran Biologi untuk
masuk kuliah selain persyaratan regular yang sudah ada.
Karena
sistem masuk universitas berbeda, maka setiap sekolah akan memiliki konselor
yang menjadi konsultan siswa untuk bertanya mata pelajaran apa saja yang harus
diambil untuk masuk jurusan tertentu di universitas pada tahun pertama di
semester kedua tahun SMA mereka. Kurikulum dan sistem perkuliahan akan
dijadikan selaras. Sehingga tidak ada istilah mata pelajaran yang sia-sia untuk
dipelajari, karena mata pelajaran yang mereka ambil di waktu SMA otomatis akan
menjadi bekal untuk masuk universitas.
Ketika
kurikulum sudah diset, maka yang penting sekarang adalah penentuan ujian
kelulusan. Ujian kelulusan akan dilakukan berdasarkan mata pelajaran yang akan
mereka ambil. Bentuk ujiannya pun berbeda. Ujian kelulusan merupakan adaptasi
dari ujian internasional dari Cambridge, atau International General
Certificate of Secondary Education (IGCSE). Ada dua tipe ujian, tipe
pilihan ganda dan juga esai. Meskipun begitu, jumlah tipe per pelajaran juga
akan berbeda.
Contohnya,
saya mengambil 5 mata pelajaran, yakni Ekonomi, Biologi, Kimia, Bahasa Inggris,
dan IT. Maka ujian kelulusan saya yang dilaksanakan secara nasional hanyalah 5
ini. Sedangkan pelajaran wajib ujiannya dilaksanakn secara intern oleh sekolah.
Meskipun hanya 5 mata pelajaran, sebenarnya saya nanti akan melakukan sekitar
15 kali ujian. Karena di beberapa mata pelajaran akan ada ujian praktik,
seperti Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, dan IT. Ujiannya pun tidak berlangsung
setiap hari. Oleh karena itu, meski hanya 5 mata pelajaran, ujiannya bisa
berlangsung selama satu bulan.
Untuk
waktu ujian dilakukan pada pagi hari sesuai dengan jadwal yang telah disediakan
dan terintegrasi. Sehingga tidak ada jadwal pelajaran yang akan bertabrakan
jadwalnya. Namun, yang mungkin terjadi adalah satu hari dia bisa ujian 3-4 kali
kalau dia mengambil banyak mata pelajaran.
Ruangan
yang digunakan untuk ujian harus bersih, jarak meja ujian per siswa adalah 1,5
meter, yang merupakan standar ujian dari IGCSE sendiri. Hal ini akan melatih
siswa untuk percaya pada kemampuan diri sendiri dan mandiri. Selain itu
peraturan ujian juga sama seperti ujian nasional di Indonesia sekarang ini.
Tipe
ujian kelulusan seperti ini selain akan mendapatkan hasil yang ‘lebih’ murni
juga dapat mengasah kepemimpinan siswa. Pemimpin itu bisa memanajemn waktu
mereka, dengan ujian yang dilaksanakan dalam jangla waktu satu bulan, maka
mereka harus benar-benar pandai mengatur waktu. Dengan demikian, selain hasil
akademis juga dicapai, mereka secara tidak langsung juga mendapatkan soft
skill yang sangat berguna.
Ini
adlah mimpi saya mengani sekolah kepemimpinan. Kepemimpinan itu bukan posisi,
namun sikap. Sekolah ini lah yang melatih sikap tersebut. Bukan secara militer,
namun dengan senyuman para gurunya, dengan canda tawa siswa siswanya. Saya
ingin sekali sekolah kepemimpinan bia dirasakan oleh banyak anak. Bisa
diterapkan di Indonesia.
Melihat
fakta dunia kependidikan di Indonesia membuat saya miris. Betapa saya ingin
mengubah semua itu. Saya yakin banyak orang yang berpikiran sama dengan saya,
namun sayangnya sedikit sekali fasilitas yang mampu menampun ide-ide seperti
ini.
Saya
berharap pendidikan di Indonesia lebih memberikan ruang bergerak kepada
siswi-siswinya. Cukup sudah sistem
pendidikan yang hanya menciptakan robot dan penghafal, cukup sudah ujian tidak
jujur, cukup sudah perilaku amoral yang dilakukan pelajar, cukup sudah berita
anak yang tida bersekolah karena tidak ada biaya, cukup sudah dengan segala ketimpangan
yang ada. Saya hanya berharap, suatu hari nanti, ketika generasi dari saya
memimpin, apa yang saya cita-citakan bisa terwujud, dan ketika saya melihat
anak-anak Indonesia tersenyum dengan bangga dibawah bendera merah putih pada
hari Senin pagi, saya tahu bahwa mimpi-mimpi ini menjadi kenyataan.
tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba sekolah dambaanku yang helat oleh Youth ESN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,