Bonus Demografi untuk Memantapkan Posisi Indonesia
dalam Bidang Sains dan Teknologi di Dunia
Oleh: Muhammad A Manaf
Mahasiswa Teknobiomedik FST
Universitas Airlangga
Sejak memasuki abad
ke-21, Indonesia mulai dilirik sebagai negara ekonomi berkembang yang memiliki
banyak potensial, baik dari segi sumber daya alam maupun dari segi sumber daya
manusia. Keadaan Indonesia, terutama secara ekonomi sangat berbeda jika
dibandingkan tahun 1998, dimana krisis ekonomi dengan tragis menyebabkan efek
bola salju yang saat itu tidak hanya melanda ekonomi namun dengan cepat
melinggas dunia politik.
Sejak itu pertumbuhan
ekonomi Indonesia mulai membaik hingga memuncak tahun 2011 dengan GDP Indonesia
mencapai 6.5%. Memang pada tahun 2013 GDP Indonesia menurun hingga 5.8% yang
disebabkan terutama oleh tekanan pada transaksi
berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah yang dibarengi dengan kenaikan laju
inflasi. Namun hal tersebut diimbangi dengan perkembangan-perkembangan positif.
McKinsey Global
Institute menerbitkan laporannya yang berjudul “The
archipelago economy: Unleashing Indonesia's potential” pada Sptember
2012 dan menyebutkan bahwa pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara
dengan ekonomi terbesar ke 7 di dunia. Belum lagi pada tahun 2014 muncul
laporan dari UNDP yang menyatakan bahwa Human Developmet Index (HDI) Indonesia
naik menjadi 108 dibandingkan tahun 2012 yang menduduki peringkat 127 dari 187
negara di dunia. Laporan keluaran dari World Economic Forum melalui Global
Competitive Index menempatkan Indonesia peringakt 38 dari 148 negara.
Hal-hal diatas
membuktikan potensi besar negeri ini untuk siap menempatkan dirinya dalam
kancah percaturan internasional. Hal ini terutama di dukung oleh bonus
demografi Indonesia. Populasi penduduk Indonesia berdasarkan Population
Reference Bureau pada tahun 2013 adalah 249 juta jiwa dengan dependency ratio yang terus menurun.
Data dari World Bank menyatakan dependency
ratio Indonesia pada tahun 2013 adalah 52%, turun 1% dari tahun 2011. Data
ini diperkirakan akan terus turun hingga tahun 2035 seperti pada grafik dibawah
ini.
Sumber:
Indonesia 2014 and Beyond, a Selective Look. A report by World Bank, December
2009
Gafik diatas
menunjukkan peningkatan jumlah usia produktif yang terus menerus hingga
puncaknya tahun 2025 dan setelah itu mengalami sedikit penurunan. Kesempatan
emas tersebut selayaknya dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk mewujudkan
janji kemerdekaan pada saat 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Keuntungan memiliki
bonus demografi sangat banyak sekali. Hal ini terutama terkait dengan dunia
perekonomian karena bonus demografi artinya lebih banyak usia produktif, lebih
banyak yang bisa bekerja sehingga GDP meningkat. Peningkatan GDP pasti akan
disusul dengan peningkatan perekonomian yang lebih baik. Perekonomian yang
lebih baik akan menyebabkan nilai tukar rupiah meningkat. Nilai tukar rupiah menguat
tentunya menguntungkan usaha dalam negeri. Namun bagaimana nasib Indonesia
dalam bidang yang lain?
Bonus demografi tidak
hanya membawa peluang, namun juga ancaman. Banyaknya jumlah usia produktif jika
tidak diimbangi dengan kualitasnya akan tetap memaksa pemerintah ‘mengimpor’
tenaga kerja dari luar. Hal ini tentunya akan menyebabkan beban pengangguran
dalam negeri yang semakin meningkat.
Untuk itu, jumlah usia
yang produktif yang banyak ini harus dialihkan ke perbaikan sektor sains dan
teknologi. Dengan julah penduduk semakin banyak, problem akan semakin
meningkat. Tenaga ahli dari berbagai bidang pasti lebih banyak dibutuhkan.
Menggantungkan diri dari tenaga kerja asing bukan langkah yang baik karena
menurunkan kekuatan ekonomi bangsa.
Inovasi dalam sains dan
teknologi dapat mendorong pertumbuhan eknomi bangsa. Hal ini lah yang harusnya
segera dicanangkan oleh pemerintahan yang baru. Dengan adanya Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015, inovasi dalam bidang sains dan teknologi diperlukan jika kita tidak ingin tertinggal
dan kalah dengan negara lain. Bonus demografi disini memegang peranan penting. Banyaknya
usia produktif berarti semakin banyak pemikir untuk mencapai tujuan yang ada.
Peran pemerintah sangat
diperlukan dalam mengelola potensi sumber daya manusia agar pada tahun 2025
bonus demografi ini tidak berubah menjadi bumerang yang melukai pelemparnya.
Bonus demografi sangat
memungkinkan untuk digunakan sebagai media pemantapan peranan Indonesia dalam
dunia sains dan teknologi. Sangat disayangkan 249 juta jiwa populasi Indonesia
hanyalah menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. Untuk itulah, selain
peningkatan ekonomi pemerintah juga perlu memfokuskan diri dalam pengembangan
ilmu dan produk dari sains dan teknologi.
Jumlah peneliti di
Indonesia masih minim. Berdasarkan data dari LIPI, ada sekitar 40.000 peneliti
di Indonesia. Namun hanya ada sekitar 21.147 peneliti full time. Jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan negara
lain seperti Malaysia. Menurut standar World Bank, seharusnya
ada sekitar 4000-5000 peneliti untuk setiap satu juta penduduk.
Hal ini
diperparah dengan rendahnya jumlah paten hak intelektual Indonesia. Dari tahun
1991-2011, dari 83 000 paten, hanya ada 5000 paten yang milik orang Indonesia.
Selebihnya adalah milik orang asing yang mematenkan penemuannya di Indonesia.
Dengan
jumlah penduduk yang tinggi dan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya
peneliti Indonesia lebih banyak. Hal ini bisa disebabkan upah rendah bagi
seorang peneliti sehingga mereka harus bekerja lembur dengan mengambil pekerjaan
lain untuk bisa menutupi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Belum lagi
fasilitas penelitian yang kurang memadai.
Selain itu
juga masalah dana untuk riset. Dana APBN Indonesia yang dikucurkan untuk Research and Development (R&D)
hanyalah 0.08% (US$490 juta) dari total US$ 586 milyar GDP pada tahun 2009.
Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.
Mengingat R&D itu merupakan kegiatan yang harus dilakukan terus menerus,
maka dengan anggaran yang seperti itu bisa menghambat proses R&D yang layak
dan progresif.
Bonus
demografi pada yang akan datang ini haruslah dimanfaatkan dengan baik. Dengan
prediksi penduduk mencapai 290.6 juta pada tahun 2025 (menurut Population
Reference Buraeu 2013) yang merupakan potensi besar. Jika penduduk Indonesia
sendiri tidak menggarap potensi ini dengan memperbanyak melakukan penelitian
dan pembangunan (R&D), maka Indonesia akan menjadi negara konsumen terbesar
di dunia atau hanya menjadi negara tempat produksi.
Indonesia sejatinya
mengedepankan penelitiannya dalam 3 bidang, yakni pertanian, energi, dan
lingkungan. Namun penelitian-penelitian yang ada belum bisa begitu bersaing
dalam dunia internasional. Meskipun penelitian yang dikaji melingkupi hal-hal
penting seperti energi bersih dari sumber terbarukan dan teknologi genomik
untuk meningkatkan hasil panen, negara ini masih tertinggal jauh dari
negara-negara lain (Shetty et.al, 2014:27).
Ada banyak
sekali area-area penelitian dalam ilmu sains maupun teknologi yang bisa dikaji di Indonesia. Seperti
ketahanan pangan, energi, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi,
ilmu dan teknologi pertahanan dan keamanan, kesehatan, material maju, dan marine biology yang masih menyingkap
banyak misteri yang perlu segera diungkap.
Contohnya
saja adalah area kesehatan. Dalam bidang ini, ilmu sains dan teknologi sangat
dibutuhkan untuk mendukung perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan modern.
Kajian-kajian tentang penyakit tropis perlu dikembangkan. Obat-obatan
alternatif perlu diuji dan dibuktikan khasiatnya sehingga bisa diolah dengan
modern dan tepat sasaran.
Dari sudut
pandang bahan mentah, Indonesia sudah memilikinya. Usia produktif yang lebih
dari 60% dari total populasi dan sumber daya alam yang siap diteliti dan
dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat.
Bayangkan
saja jika pemerintah tidak segera memfokuskan diri pada pendayagunaan pemuda
untuk riset dan pengembangan (R&D), bisa dipastikan pada tahun 2025 selain
kita jadi konsumen terbesar kita juga memiliki beban pengangguran yang banyak. Usia
produktif hanya menjadi beban negara karena tidak diimbangi dengan kualitas
intelektualitasnya. Maka tak heran jika peneliti-peneliti nanti di Indonesia
diambil alih oleh Jerman, Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Sumber daya alam
kita terpaksa harus ditransfer ke negara lain untuk diolah karena tidak ada
teknologi pengolahan tinggi dan SDM yang mumpuni disini. Hal ini bisa
mengakibatkan runtuhnya teori-teori dan prediksi banyak badan penelitian
tentang Indonesia di masa mendatang. Karena nyatanya pada tahun 2025 Indonesia
tidak bangkit, namun semakin terpuruk secara ekonomi yang nantinya akan
merambat ke sektor yang lain.
Hal
tersebut bisa berubah jika pemerintah yang sekarang ini memiliki tujuan yang
jelas untuk Riset dan Pengembangan (R&D) demi masyarakat Indonesia yang
sejahtera dan berdaya mandiri.
Ada banyak
hal-hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengolah peluang bonus
demografi untuk perkembangan dunia sains dan teknologi. Diantaranya adalah;
Pertama,
pemerintah harus membuat komitmen tentang pengembangan riset dan teknologi dan
ada metode pencapaian yang terintegrasi untuk mencapai tujuan. Hal ini
sebenarnya sudah pada pemerintahan SBY sudah ada, dengan terbentuknya Komite
Inovasi Nasional yang memiliki visi hingga tahun 2025. Namun sayangnya tidak
ada langkah progresif yang bisa mempertemukan industri, pendidikan, dan inovasi
sains agar komitmen tersebut bisa berjalan.
Kedua,
memperkuat peranan pemain-pemain dalam pengembangan riset dan teknologi.
Pemain-pemain pokok ini berdasarkan penelitian Shetty dkk pada tahun 2014 adalah
Kementerian Riset dan Teknologi; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Lembaga
Ilmu Pengathuan Indonesia; Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Dewan Riset
Nasional; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; dan Industri.
Langkah
yang diambil oleh pemerintah yang sekarang dengan menggabungkan Ditjen Pendidikan
Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi merupakan langkah signifikan.
Diharapkan, universitas-universitas di Indonesia bisa lebih menjalankan trias
pendidikan tinggi nya, dengan lebih banyak melakukan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian masyarakat.
Selain itu,
sebagai pusat pembentuk daya pikir dan intelektual, pendidikan harus menanamkan
rasa keingintahuan yang besar agar anak didik mampu dan mau mengembangan sains
dan teknologi di Indonesia. Tanpa ada pengaruh dan dukungan pemerintah, hal ini
sulit dicapai. Sehingga pemerintah harus menggarap seperti apa pendidikan yang
akan diberikan kepada masyarakat Indonesia agar peluang bonus demografi ini
tidak terbuang sia-sia.
Ketiga,
meningkatkan anggaran untuk riset dan pengembangan (R&D) dengan cara
meluncurkan dewan khusus untuk menangani masalah pendanaan penelitian. Dengan
semakin banyak dana yang terkucur, maka para peneliti akan semakin banyak
melakukan penelitian tanpa harus bingung nantinya mendpaat dana dari mana.
Keempat, membangun
infrastruktur untuk meningkatkan konektvitas. Banyak hal-hal yang belum
diteliti di Kalimantan maupun Papua. Sayang masih sedikit peneliti Indonesia
yang mau melakukan penelitian disana karena akses daerahnya yang sulit. Dengan
pembangunan infrastruktur diharapkan akan semakin menarik peminat peneliti dan
teknokrat untuk bekerja di daerah yang dulunya terpencil. Hal ini juga akan
mendukung semakin meratanya pembangunan. Selain itu juga perlu pembangunan
laboratorium –laboratorium yang memadai untuk keperluan penelitian yang lebih
cangih. Banyak mahasiswa Indonesia pulang ke kampung halaman untuk melanjutkan
penelitin namun gagal karena tidak ada fasilitas untuk melakukannya.
Kelima
adalah dengan meningkatkan kesejahteraan para peneliti. Peneliti dengan gaji
yang rendah merupakan salah satu faktor kenapa jumlah peneliti di Indonesia
tidak sebanyak di negara-negara tetangga. Dengan meningkatkan kesejahteraan
peneliti, diharapkan posisi ini akan semakin menarik di mata anak muda sehingga
pembangunan ekonomi dan pengembangan riset dan teknologi bisa saling mendukung.
Keenam
adalah mengefisiensikan sistem birokrasi terkait riset dan pengembangan
(R&D). Birokrasi izin untuk melakukan riset harus diperbaiki agar
proposal-proposal riset potensial tidak terbuang sia-sia hanya karena tidak
bisa melalui birokrasi yang memang sangat rumit. Apalagi tidak semua peneliti
memiliki waktu melakukan birokrasi yang berbelit-belit.
Ketujuh
adalah dengan membangun kerja sama riset sains dan teknologi dengan negara lain
atau badan penelitian internasional lainnya. Dengan membangun kerja sama
seperti ini akan menjamin pengembangan sains dan teknologi di Indonesia semakin
canggih dan terdepan. Hal ini bisa terwujud jika langkah keenam diatas bisa
diwujudkan. Kerja sama riset ini nantinya juga menjadi daya tarik tersendiri
bagi para peneliti muda yang haus akan relasi internasional.
Bonus
demografi Indonesia memiliki banyak potensi untuk bisa meraih janji
kemerdekaan. Selain stabilitas ekonomi, hal penting dari bonus demografi yang
bisa diwujudkan adalah memantapkan posisi Indonesia dalam sains dan teknologi
dalam dunia internasional. Pemantapan posisi sains dan teknologi di Indonesia
juga akan membawa dampak semakin stabilnya perekonomian di negeri ini karena
SDA sudah diolah oleh SDM sendiri yang berkualitas.
Hal ini
bisa diwujudkan dengan menerapkan tujuh langkah seperti yang penulis nyatakan
diatas seperti meningkatkan kualitas sumber daya manusia lewat peningkatan
peran badan terkait, pembangunan infrastruktur, peningkatan dana penelitian,
dan juga kerjasama internasional. Untuk memantapkan posisi Indonesia pada
bidang sains dan teknologi harus dilakukan dari dalam dulu. Memperbaiki sistem
yang ada. Setelah itu barulah kerja sama internasional bisa dijalankan dengan
baik.
Bonus
demografi yang diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi aset
yang berharga terutama untuk memperkuat posisi sains dan teknologi Indonesia di
dunia. Dengan adanya riset dan teknologi baru akan mendorong inovasi dalam
sektor eknomi, pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan bangsa. Kita harus
yakin bahwa Indonesia bisa.
Daftar
Pustaka
Alifien. Tanpa tahun. Jumlah Paten Intelektual Peneliti Indonesia Rendah
.http://www.technology-indonesia.com/component/content/article/124-teknik-produksi/361-jumlah-paten-intelektual-peneliti-indonesia-rendah.
Diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 14:27 WIB
BTI 2014. Indonesia Country Report.BTI Project 2014
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG
diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 10:09 WIB
http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.DPND
diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 10:09 WIB
World
Bank. Indonesia at a glance. http://devdata.worldbank.org/AAG/idn_aag
.pdf
diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 07:49 WIB
McKinsey Global Institute. September 2012. The
archipelago economy; unleashing Indonesia’s Potentials. McKinsey & Company
2012.
OECD. 2013. Structural Policy Country Notes, Indonesia.
Laporan tahunan OECD dalam Structural Policy Challenges for Southeast Asian
Countries 2013.
Okamoto, Yumiko dan Fredrik Sjöholm. 2001. Technology
Development In Indonesia. The European Institute of Japanese Studies.
Perkembangan Ekonomi Terkini 2014. http://macroeconomicdashboard.com/
index.php/ekonomi-makro/166-perkembangan-ekonomi-terkini diakses tanggal 30
November 2014 Pukul 08.47 WIB
Population Reference Bureau. 2013. World Population
Data Sheet 2013. Laporan tahunan PRB tahun 2013.
Schwab, Klaus. 2014. The Global Competitiveness Report 2014–2015. World Economic Forum.
Setyorini, Virna P. 23 April 2014 . Indonesia masih butuh 191.400 peneliti. http://www.antaranews.com/berita/430698/indonesia-masih-butuh-191400
peneliti. Diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 14:25 WIB
Shetty, Pretty, Husein Akil dan Trina Fizzanty.
2014. Indonesia, The Atlas of Islamic
World Science and Innovation Country Case Study. Creative Commons.
UNDP. 2013. Indonesia, HDI values and rank changes
in the 2013 Human Development Report. Laporan UNDP dalam Human Development
Report 2013.
UNDP. 2014. Indonesia, HDI values and rank changes
in the 2014 Human Development Report. Laporan UNDP dalam Human Development
Report 2014.
World Bank. Desember 2009. Indonesia Economic
Quarterly. Laporan kwartal World Bank 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar kamu mengenai apa yang aku tulis di atas. Tapi tolong jaga kesopanan ya,